| | The Story of Vangardia | |
| | Pengirim | Message |
---|
shiningforcefx Corporal
Jumlah posting : 82 Age : 35 Lokasi : Jakarta Barat Registration date : 24.07.08
Written On The Star Star of Destiny: Tenkai Star Race: Human
| Subyek: The Story of Vangardia Wed Sep 17, 2008 10:27 pm | |
| Prologue
Hujan turun begitu deras, malam ini langit terlihat begitu gelap. Bulan sama sekali tak terlihat karena tertutup awan. Aku berjalan sendirian, tanpa arah dan tujuan. Aku berjalan menyusuri hutan, berharap ada tempat untuk berteduh dan beristirahat sementara. Tiba-tiba terdengar jeritan seorang anak kecil.
“Tidak! Jangan mendekat!” teriaknya dari kejauhan.
Akupun bergegas menuju tempat suara tersebut berasal. Sesampainya disana, aku melihat seorang anak kecil yang tengah dikelilingi oleh kawanan serigala. Aku langsung mendekatinya dan menenangkannya.
“Cepat pergi dari sini. Biar aku yang mengatasi serigala-serigala ini,” ujarku kepadanya.
Kemudian, ia pun langsung berlari menjauh dari tempat ini. Serigala-serigala ini pun kemudian semakin mendekat kepadaku.
“Mereka tampaknya kelaparan. Mungkin ini akan lebih sulit dari biasanya,” ujarku kepada diri sendiri.
Aku pun langsung mengeluarkan senjataku. Senjataku berbentuk pedang besar yang digenggam dengan dua tangan (Broad Sword). Serigala di depanku langsung menyerang, aku mengelak ke samping sambil melukai tubuh bagian kirinya. Aku kemudian meloncat ke serigala di sebelah kananku dan menusuk kepalanya. Tiba-tiba ada serigala yang menyerang dari belakangku. Aku menahan taringnya dengan senjataku dan kemudian melemparnya.
“Hah… hah… hah… sepertinya masih ada dua lagi yang harus dibereskan,” ujarku sambil terengah-engah.
Aku kemudian melemparkan pedangku dan mengenai salah satu dari serigala itu. Lalu aku menendang serigala lainnya dan segera mengambil senjataku. Serigala itu terluka dan kabur.
“Dia kabur… kuharap dia tidak akan kembali lagi,” ujarku.
Aku berjalan sambil mengatur nafasku yang terengah-engah dan menahan rasa sakit dari lukaku akibat pertarungan tadi. Sepertinya perutku terluka akibat serangan serigala tersebut. Perlahan-lahan hujan mulai berhenti, kemudian aku secara tidak sengaja menemukan sebuah kantong kecil dan jejak kaki yang masih baru.
“Apa ini? Mungkinkah… Milik anak yang tadi? Hmm, jejak kaki ini masih baru. Sepertinya jejak kaki ini mengarah ke tempat tinggalnya,” ujarku.
Akupun berjalan menyusuri jejak kaki itu dan akhirnya tiba di sebuah desa kecil. Desa itu tampak begitu sederhana dan aku melihat beberapa orang sedang berjalan menuju ke pemukiman sambil membawa cangkul dan keranjang. Dari penampilan mereka, sepertinya mereka adalah petani. Aku berjalan sambil melihat-lihat sekeliling, kemudian ada seseorang yang berlari dengan kencang dan menabrakku.
“Hey! Hati-hati kalau sedang berjalan!” teriaknya kepadaku.
Ia pun langsung pergi dan berbelok sehingga tidak terlihat lagi. Kemudian aku melihat anak yang tadi dari kejauhan sedang berbicara dengan seorang pedagang yang sedang membereskan barang dagangannya. Anak itu kemudian pergi, mukanya terlihat seperti kebingungan. Aku kemudian mendekati penjual itu dan bertanya.
“Tunggu sebentar, apakah kau mempunyai Herb?” tanyaku kepadanya.
“Saya mohon maaf tuan, semua barang daganganku sudah habis terjual,” jawabnya kepadaku.
“Sial...,” ujarku sambil menahan rasa sakit.
“Hmm... Sepertinya lukamu cukup parah tuan. Sebaiknya anda pergi ke tempat Xenoc. Dia adalah seorang Alchemist. Ia mungkin mempunyai ramuan untuk mengobati luka anda,” ujarnya kepadaku.
Ia memberitahukanku bahwa rumahnya terletak di bagian ujung dari desa ini. Alchemist mempunyai kemampuan untuk meramu obat-obatan dan bahkan dapat membuat benda-benda berbahaya yang dapat digunakan dalam pertarungan. Setelah berterima kasih pada pedagang itu, aku pun bergegas ke rumah anak tersebut. Di ujung jalan terlihat sebuah rumah yang kecil dan sangat sederhana. Aku mengetuk pintu rumah tersebut kemudian muncul seorang kakek yang membukakan pintu dan bertanya kepadaku.
“Hmm…? Aku belum pernah melihat wajahmu di desa ini. Apakah ada sesuatu yang bisa kubantu?” tanyanya kepadaku.
“Maaf menganggu, aku ingin meminta tolong padamu untuk mengobati lukaku ini,” ujarku kepadanya.
Kakek itu pun tersenyum dan mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Di dalam, aku melihat seorang anak kecil menangis. Aku memperhatikannya dan ternyata anak itu adalah anak yang kutemui di tengah hutan tadi.
“Kau sepertinya mengenal cucuku ini, namanya Lilith,” ujar kakek itu.
Aku berjalan menghampiri anak tersebut.
“Bukankah kau anak yang tadi kutemui di tengah hutan? Apakah ini yang kaucari?” tanyaku kepadanya.
Aku lalu memberikan kantong tersebut kepadanya dan ia pun berhenti menangis.
“Hiks… hiks… terima kasih. Kau telah dua kali menolongku tuan.” ujarnya sambil menghapus air mata.
“Ngomong-ngomong, sebenarnya apa isi kantong itu? Dan kenapa kau berkeliaran di hutan malam-malam seperti ini?” tanyaku kepada anak tersebut.
Kakek tadi kemudian menghampiriku dan menjelaskan bahwa kantong tersebut berisi dedauanan yang berfungsi sebagai obat. Dedauanan ini sering disebut sebagai Herb. Salah seorang warga di desa ini terluka parah setelah kembali dari hutan dan untuk mengobatinya dibutuhkan Herb.
“Tadinya aku menyuruhnya untuk mengambil herb itu di daerah sekitar desa, tetapi nampaknya tumbuhan itu telah habis di desa ini sehingga ia memutuskan untuk mencarinya di hutan,” ujarnya.
Ia pun segera meramu obat dari Herb tadi dan meminta cucunya untuk membantunya.
“Ngomong-ngomong, apakah kau seorang Drifter? Sudah lama tidak ada orang yang berkunjung ke desa ini. Bagaimana kau bisa sampai ke desa ini?” tanyanya kepadaku.
Aku hanya terdiam dan kemudian ia melihat ke sebuah benda yang terbungkus kain di belakang punggungku dan bertanya.
“Benda apa yang kau bawa di punggungmu itu? Tidak biasanya seorang Drifter membawa benda seperti itu,” tanyanya kepadaku.
Aku terdiam dan tidak menghiraukan pertanyaannya. Tiba-tiba, terdengar suara teriakan meminta tolong.
Aku bergegas keluar dari rumah itu dan bertanya pada warga sekitar. Mereka melihat beberapa orang dengan perawakan yang tinggi dan besar berlari dan mencoba memasuki rumah salah seorang warga dengan paksa. Mereka membawa senjata dan pakaian mereka tampak lusuh dan kotor.
“Hmm... Dari penjelasan warga desa, sepertinya mereka adalah bandit. Apa yang mereka lakukan di tempat ini?” tanyaku pada diri sendiri.
Aku berlari menuju ke rumah warga desa yang terluka tersebut dan sesampainya disana, aku melihat bandit-bandit tersebut. Bandit-bandit itu berjumlah 4 orang dan sepertinya mereka sedang membicarakan sesuatu. Aku bersembunyi dan mencoba mendengarkan pembicaraan mereka.
“Kau yakin ini rumahnya? Jangan sampai kita membuang-buang waktu di tempat ini. Aku tidak mau ada orang yang melihat wajah kita,” tanya bandit tersebut kepada temannya.
“Ya, aku sangat yakin. Tadi aku sudah mengikutinya sampai kesini. Dan memang benar ini adalah rumahnya,” jawabnya.
Ternyata orang yang menabrakku tadi adalah salah satu dari bandit-bandit ini. Aku melemparkan batu ke rumah di sebelah untuk mengalihkan perhatian mereka.
“Apa itu?! Sepertinya ada yang mengikuti kita. Kalian berdua periksa tempat itu!” perintahnya kepada dua temannya. Aku mengendap dan mendekati mereka dari belakang, tetapi ternyata ada satu bandit lagi yang datang dan ia melihatku.
“Hey, apa yang kau lakukan?!” teriaknya kepadaku.
Aku pun langsung berlari dan salah satu bandit itu melempariku dengan pisau. Aku mengelaknya dan segera bersembunyi di balik pohon. Para bandit itu berlarian mencariku, sepertinya aku tidak bisa keluar untuk sementara ini.
“Sial, Hah…hah…hah… Seandainya saja aku tidak terluka….” ujarku sambil terengah-engah.
Tiba-tiba terdengar teriakan dari salah satu bandit tersebut. Aku bergegas keluar dari persembunyian dan menuju ke rumah target mereka melalui halaman belakang rumah tersebut dan mendobraknya.
“Si... Siapa kau?! Jangan sakiti kami.” teriak seseorang.
Di dalam rumah itu terlihat seorang pria yang sedang terluka dan seorang wanita. Mereka berdua terlihat sangat ketakutan.
“Kau boleh mengambil semua harta kami tapi, jangan sakiti kami dan pergilah dari tempat ini” ujarnya kepadaku.
“Aku tidak berniat menyakiti kalian. Cepat pergi dari tempat ini dan bersembunyilah di tempat yang aman,” perintahku kepada mereka.
“Ka... Kau bukan salah satu dari bandit itu?” tanyanya.
“Cepatlah pergi dari sini, bandit-bandit itu sedang menuju ketempat ini” ujarku kepadanya.
Kemudian wanita itu memapah pria yang terluka tersebut dan pergi meninggalkan tempat ini. Beberapa saat kemudian, salah satu bandit tersebut mendobrak pintu depan rumah dan kemudian muncul salah satu temannya. Mereka berdua melihatku dengan mata yang tajam. Sepertinya mereka sangat marah padaku.
“Kau! Kau yang membunuh temanku bukan?! Akan kubalas perbuatanmu itu! Akan kubunuh kau!” teriaknya kepadaku.
“Membunuh?! Tu.. Tunggu dulu, Aku tidak pernah membunuh temanmu!” balasku kepada mereka.
“Jangan mengelak! Aku tidak akan memberi ampun kepadamu!” teriaknya.
Tidak ada pilihan lain, akupun segera mengeluarkan pedangku dan bersiap untuk menghadapi mereka. Kedua bandit itu mempunyai sebilah pedang yang digenggam dengan satu tangan sebagai senjata mereka. Keduanya menyerang secara bersamaan, aku menangkis pedang mereka berdua dengan senjataku kemudian aku menghempaskan mereka berdua ke tembok. Aku kemudian menyerang bandit di sebelah kanan dan mengenai lengannya. Tiba-tiba di belakangku, temannya menyerang. Aku menghindar tetapi punggungku sedikit terluka. Mereka mendekatiku dari dua sisi dan kembali menyerang secara bersamaan. Dengan punggungku yang terluka, aku tidak mungkin bisa menangkis serangan mereka. Aku menyerang bandit di sebelah kiri dengan nekat dan berhasil menusuknya di daerah perut. Tetapi, bahu sebelah kiriku terluka karena sayatan pedang bandit tersebut.
“Sial... Sepertinya lukaku menjadi semakin parah,” ujarku sambil memegang bahuku yang terluka.
Bandit yang tersisa juga sedang terluka akibat seranganku sebelumnya. Kami saling bertatapan dengan tajam. Aku melempar senjataku ke arahnya dan ditangkis oleh bandit itu. Tetapi, aku berhasil mendekatinya dan memukul perutnya. Bandit itu terhempas dan aku segera mengambil senjataku lalu kutusukkan ke bandit tersebut. Tiba-tiba datang seorang bandit lagi dengan keadaan terluka.
“Sial, walaupun ia terluka, tenagaku telah habis akibat pertarungan tadi.” ujarku.
Kemudian, seekor serigala menyerang bandit itu dari belakang. Bandit itu terjatuh dan berusaha menahan taring serigala tersebut.
“Sepertinya ini kesempatan bagiku. Aku harus secepatnya pergi dari tempat ini.” ujarku.
Aku pun segera berlari dan menuju ke pintu belakang. Tampaknya serigala tadi sama dengan serigala yang kulawan di hutan. Aku berlari menuju ke lapangan di tengah-tengah desa. Di sana terlihat banyak serigala dan mereka semua menyerang penduduk desa yang sedang berlarian. Beberapa dari penduduk desa tersebut terkapar dengan luka yang sangat parah.
“Ada apa ini..?! Kenapa serigala-serigala itu ada disini?!” ujarku.
Diantara serigala itu, terlihat satu serigala yang sedang terluka. Serigala itu sama persis dengan serigala yang tadi kuserang di hutan. Serigala itu melihatku dan melolong. Aku berlari menjauh dari tempat tersebut sambil menghindari kejaran serigala-serigala yang lain. Beberapa saat kemudian, terdengar suara lolongan yang sangat nyaring dan suara langkah kaki menuju ke dekatku. Tiba-tiba, muncul seekor serigala yang lebih besar dan terlihat sangat ganas. Kurasa serigala yang baru muncul itu adalah pimpinannya dan merupakan yang terkuat.
“Sepertinya nasibku tidak terlalu mujur hari ini. Mungkin... aku akan mati.” ujarku pada diriku sendiri.
Serigala-serigala yang lain mundur dan memberi ruang yang cukup luas untuk kami. Aku melihat-lihat ke sekelilingku dan sepertinya tidak ada tempat untuk bersembunyi.
“Sepertinya memang tidak ada pilihan lain, aku harus memakainya. Tapi... Sudahlah, sepertinya hanya ini satu-satunya cara,” ujarku.
Aku mulai membaca mantera dan muncul kobaran api yang berputar disekelilingku. Dari tubuhku, keluar aura yang sangat kuat.
“Gahhh!!!! BERSERK RAGE!!!!!!” teriakku.
Aura yang keluar dari tubuhku berubah menjadi merah membara. Mataku beruah menjadi merah. Aku langsung menyerang serigala itu dari arah depan. Mata serigala itu terluka dan ia langsung berteriak kesakitan. Serigala itu menyerangku dengan cakarnya secara membabi buta. Aku menghindari setiap serangannya dan memotong kaki depan sebelah kanannya. Serigala itu terjatuh dan terkapar. Aku menghujamkan senjataku ke kepalanya. Tetapi, serigala itu menangkis dengan taringnya dan kaki kanan depannya berusaha melukaiku. Untungnya, aku berhasil menangkisnya dengan satu tangan dan aku menendang kepalanya. Serigala itu terkapar dan kelihatan tidak berdaya lalu aku bersiap-siap untuk membunuhnya.
Tiba-tiba, dadaku terasa sangat sakit. Aku terjatuh ke tanah dan tanganku memegang dadaku yang sakit itu. Aku berteriak sangat keras dan kencang. Sekelilingku terasa gelap dan akhirnya mataku terpejam. | |
| | | shiningforcefx Corporal
Jumlah posting : 82 Age : 35 Lokasi : Jakarta Barat Registration date : 24.07.08
Written On The Star Star of Destiny: Tenkai Star Race: Human
| Subyek: Re: The Story of Vangardia Wed Sep 17, 2008 11:03 pm | |
| Chapter 1 nya gak bisa dimuat karena kegedean. Nanti akan gw pisah dulu bagian-bagiannya biar bisa muat.
Klo ada yang mau bantu buat bikin visual novelnya, dengan senang hati saya terima.
Mohon kritik dan sarannya di post yang baru agar tidak memakan tempat di thread ini.
Thx | |
| | | shiningforcefx Corporal
Jumlah posting : 82 Age : 35 Lokasi : Jakarta Barat Registration date : 24.07.08
Written On The Star Star of Destiny: Tenkai Star Race: Human
| Subyek: Re: The Story of Vangardia Sat Sep 20, 2008 1:31 pm | |
|
Chapter 1 : A Fragment Of Memory
“Heah!! Heah!! Hiyaa!!!”
Aku menggunakan pedangku untuk memukul pohon yang berada di depanku.
“Berhasil! Aku berhasil!” teriakku.
Pohon yang telah kupukul dari tadi tumbang dan terjatuh ke tanah.
“Sepertinya latihanku selama ini tidak sia-sia. Bila aku terus berlatih seperti ini, maka tidak lama lagi aku akan menjadi ksatria kerajaan,” ujarku dengan penuh semangat.
Tiba-tiba seseorang mendekatiku dan memegang pundakku.
“Rith, apa kau yakin dengan apa yang kau lakukan? Pohon itu terjatuh karena kau pukul berkali-kali. Seranganmu tampaknya tidak memiliki teknik yang baik. Seorang ksatria tidak boleh bertarung hanya dengan mengandalkan kekuatan dan menyerang secara membabi buta.” ujarnya kepadaku.
“Gu… Guru Radd Menurutku tidak masalah apa pun cara yang kita tempuh, asalkan kita bisa mengalahkan lawan kita. Untuk itu, aku akan menjadi lebih kuat.” balasku kepadanya.
Kemudian, ia tersenyum kepadaku dan mengelus-elus rambutku. Ia lalu memandang ke langit.
“Suatu saat kau akan mengerti kata-kataku. Ingatlah nasehatku ini, kekuatan yang sebenarnya akan muncul saat melindungi orang lain yang kau sayangi. Bukan disaat kau ingin melukai orang lain.” ujarnya kepadaku.
“Nampaknya hari sudah mulai gelap. Kau harus beristirahat karena besok adalah hari yang penting.” ujarnya.
Guru Radd adalah pimpinan tertinggi di tempat ini. Ia merupakan salah satu orang terkuat di Vangardia, tetapi ia menolak saat mendapatkan tawaran untuk menjadi ksatria kerajaan yang disebut juga sebagai Royal Knight. Ia mempunyai gelar sebagai Master karena kemampuan dan kebijaksanaannya.
Aku berjalan menuju ke ruang makan. Di sana terdapat beberapa meja yang berukuran besar dan tersaji sejumlah makanan yang cukup lezat. Tiba-tiba seseorang pemuda gendut berjalan mendekatiku.
“Hey, minggir kau anak bodoh! Berani-beraninya kau menghalangi jalanku! Teriaknya kepadaku.
Pemuda gendut tersebut bernama Bod. Ia adalah anak dari salah satu pejabat tinggi di istana. Hal itulah yang membuatnya sering bertindak seenaknya dan menganggap orang lain mempunyai kedudukan yang lebih rendah daripadanya. Aku segera bangun dari tempat dudukku dan menatapnya dengan tajam. Kemudian, aku menyerangnya dengan pukulan kearah kepala. Dengan cepat, salah satu temannya yang bertubuh besar menangkis pukulanku dengan tangannya.
“Dasar bodoh, memangnya kau pikir siapa dirimu? Berani-beraninya kau mencoba untuk memukulku. Aku akan membuatmu menyesal!” ujarnya dengan kesal.
Ia lalu memanggil teman-temannya yang lain dan memerintahkan mereka untuk memukuliku. Aku hanya bisa menerima pukulan-pukulan tersebut dan dipermainkan oleh mereka. Tiba-tiba guru Radd datang dan melerai kami.
“Hentikan! Kalian tidak boleh saling bertarung! Kembali ketempat kalian masing-masing!” perintahnya kepada yang lain.
“Bertarung? Ini bukanlah suatu pertarungan. Kami bahkan sama sekali tidak terluka oleh serangannya. Hal terbaik yang bisa ia lakukan adalah menjadi target latihan kami.” balasnya kepada guru Radd.
“Hah, justru kaulah yang tidak bisa bertarung! Kau hanya berdiri di belakang dan mengandalkan teman-temanmu saja! Kalau kau memang berani, lawan aku secara jantan!” teriakku kepada Bod.
“Apa kau bilang?! Apa kau mau kuhajar sampai babak belur?!” balas Bod kepadaku.
“Kalian berdua, berhenti! Aku tidak akan segan-segan untuk menghukum kalian kalau tidak mau berhenti juga,” ujar guru Radd kepada kami.
Bod kemudian pergi bersama teman-temannya dengan muka sinis. Kerumunan di sekitar kamipun membubarkan diri, kemudian guru Radd membantuku berdiri. Sekujur tubuhku memar. Aku merasa sangat kesal atas sikap dan perlakuan Bod padaku.
“Guru tidak usah menolongku. Aku bisa mengatasinya sendiri,” ujarku sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhku.
Aku pun langsung menuju ke Barrack dan mengunci pintu kamarku.
Barrack adalah tempat beristirahat para ksatria dan mempunyai ukuran yang sangat besar. Di dalamnya terdapat banyak sekali kamar dengan satu tempat tidur, satu lemari, satu kursi dan satu meja di setiap kamar. Selain kamar, terdapat juga sebuah ruangan luas dengan banyak meja dan kursi. Ruangan tersebut digunakan untuk berinteraksi dengan ksatria lainnya dan bersantai-santai saat tidak ada tugas atau latihan dan disebut sebagai Community Room.
Lama-kelamaan aku mengantuk dan mataku terpejam. Mungkin aku terlalu kelelahan akibat latihan dan juga keributan tadi. Tiba-tiba aku merasa ada yang aneh di sekelilingku. Aku berjalan di kegelapan yang begitu pekat. Aku merasa kedinginan dan ketakutan. Kemudian, muncul sebuah bola api yang membara dan semakin mendekat kepadaku. Suhu di sekitarku menjadi sangat panas dan aku merasa semakin ketakutan.
“Benda apa itu?! Menjauh dariku! Pergi…! Pergi…!” teriakku.
Bola api itu semakin mendekat dan membesar. Kemudian, api itu berubah bentuk menjadi seorang manusia. Matanya begitu merah membara dan disekelilingnya terdapat aura berwarna merah yang sangat panas.
“Wahai anak muda, akhirnya aku bisa bertemu denganmu. Katakanlah padaku, apakah kau menginginkan kekuatan?” tanyanya.
“Si… Siapa kau?! Ja… Jangan dekati aku!” teriakku sambil ketakutan.
Dia kemudian menatapku dengan tajam.
“Aku tanya sekali lagi. Apakah kau menginginkan kekuatan?” tanyanya kepadaku.
Aku tidak bisa bergerak sedikit pun karena rasa takut yang amat sangat dan hanya bisa memandang makhluk tersebut.
“Baiklah kalau begitu, aku akan menunggu jawaban darimu. Suatu saat kita akan bertemu lagi,” ujarnya kepadaku.
Tiba-tiba, aku terbangun dengan jantung yang berdebar. Aku melihat-lihat sekeliling dan kemudian memegang kepalaku.
“Ternyata hanya mimpi. Tetapi, sepertinya kejadian itu terasa seperti kenyataan,” ujarku.
Aku langsung bangun dari tempat tidur dan mengganti bajuku kemudian bergegas menuju ke ruangan latihan. Baju yang kupakai adalah seragam ksatria junior. Warna dasarnya adalah coklat terang dan terdapat lambang ksatria Arcania di bagian dadanya.
Sesampainya disana, semua orang telah berbaris dengan rapi. Nampaknya aku terlambat untuk mengikuti upacara penyambutan. Aku berjalan di belakang barisan sambil mencari-cari barisan yang masih kosong. Tiba-tiba, seseorang menarikku.
“Hey, kemana saja kau? Sebentar lagi Jenderal Zieg akan datang. Kau baris di sini saja bersamaku,” ujarnya.
Dia adalah Eric. Sama denganku, dia juga seorang ksatria Arcania. Ia satu tim denganku. Tiap tim beranggotakan 4 orang dengan 1 orang komandan sebagai pemimpinnya. Beberapa saat kemudian, terdengar bunyi terompet. Sepertinya jenderal Zieg telah datang, sambutannya begitu meriah dan terdengar suara tepuk tangan dimana-mana. Lalu, munculah seorang pria tinggi yang mengenakan jubah berwarna perak. Tubuhnya sangat besar dan kekar. Dipunggungnya terdapat sebuah pedang yang berukuran sangat besar. Jauh lebih besar dari pedang dua tangan yang biasa aku lihat. Dia berjalan dengan gagah dan tegak sampai ke sebuah podium di tengah-tengah panggung. Kemudian ia memberikan sambutan di podium.
“Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua yang ada disini. Sambutan yang kalian berikan sangat meriah. Arcania adalah salah satu dari 5 Guild terhebat di kerajaan ini. Aku mengharapkan kemampuan kalian untuk menghadapi kerajaan Salidan 6 hari yang akan datang dan pada saat itu, aku sendiri yang akan memimpin perang tersebut. Hidup Vangardia!” sahutnya kepada seluruh peserta.
Setelah itu, jenderal Zieg melambaikan tangannya dan berjalan meninggalkan podium. Kami pun membubarkan diri dengan teratur dan keluar dari ruangan aula.
Guild merupakan tempat dimana para ksatria dididik dan dilatih agar dapat melindungi kerajaan Vangardia apabila sewaktu-waktu terjadi perperangan.
“Kudengar jenderal Zieg akan tinggal disini selama satu hari untuk memantau latihan kita,” ujar Eric kepadaku.
“Komandan Sagas telah menunggu kita. Lebih baik kita segera berkumpul di gerbang utara,” ujarku kepada Eric. | |
| | | Sharing The Fate Admin
Jumlah posting : 148 Age : 32 Registration date : 22.05.08
Written On The Star Star of Destiny: Chiketsu Star Race: Human
| Subyek: Re: The Story of Vangardia Sat Sep 20, 2008 10:48 pm | |
| Mu-mungkin dirapikan sedikit lagi, soalnya kelihatan agak berantakan postnya. Udah bagus, sih :D | |
| | | shiningforcefx Corporal
Jumlah posting : 82 Age : 35 Lokasi : Jakarta Barat Registration date : 24.07.08
Written On The Star Star of Destiny: Tenkai Star Race: Human
| Subyek: Re: The Story of Vangardia Sun Sep 21, 2008 10:04 am | |
|
Kami segera berlari menuju ke gerbang utara. Disana, komandan Sagas telah menunggu kami. Komandan adalah pimpinan tim kami. Umurnya 22 tahun dan dia telah menjadi ksatria Arcania sejak 5 tahun yang lalu. Keahliannya tidak diragukan lagi karena ia merupakan salah satu dari 10 ksatria terhebat di Arcania.
“Kenapa kalian selalu terlambat. Seorang ksatria harus selalu disiplin. Apa kalian tahu akibatnya bila kita terlambat saat akan menyelamatkan seseorang?” ujarnya kepada kami berdua.
“Ma… Maaf, kami akan berusaha untuk tidak terlambat lagi,” ujar Eric sambil merunduk meminta maaf.
Dalam tim kami terdapat dua orang lagi, yaitu Alex dan Mia. Mereka berdua memiliki umur yang sebaya dengan kami. Komandan lalu memerintahkan kami untuk berbaris.
“Kali ini kita akan melakukan latihan bertarung di hutan Alzenith. Lokasinya terletak di sebelah utara, tidak jauh dari Arcania, jadi kita hanya perlu membawa sedikit perlengkapan saja,” ujarnya kepada kami.
“Tetapi komandan, bukankah di hutan itu kita harus menggunakan sihir untuk mengalahkan monster yang muncul? Setahuku, Rith masih belum mahir dalam menggunakan sihir. Pertarungan ini akan menjadi semakin sulit bila ia gagal lagi,” ujar Alex kepada komandan.
“Alex, sepertinya omonganmu terlalu berlebihan,” ujar Ami.
“Huh! Ia bahkan tidak membalas saat kemarin diserang oleh Bod,” ujar Alex.
“Tidak, aku yakin kalau latihan ini akan berhasil dengan baik. Lagi pula, aku sangat yakin dengan kemampuan kalian,” ujarnya.
Kemudian, kami membubarkan diri dan mempersiapkan seluruh perlengkapan kami. Setelah beberapa saat kemudian, kami berkumpul kembali di gerbang utara. Komandan lalu memberikan instruksi kepada kami tentang keadaan dan bahaya di hutan. Setelah itu, kami keluar dari Arcania melalui gerbang utara dan berjalan menuju ke hutan Alzenith.
“Sepertinya, perasaanku buruk tentang latihan ini. Tempat ini terlihat lebih suram dan lebih sunyi dari biasanya,” ujar Ami.
“Ya, hutan ini tampaknya lebih sunyi dan lebih gelap dari biasanya. Aku sama sekali tidak melihat ada binatang di sekitar sini,” ujar Alex.
“Sudahlah, kita harus tetap berkonsentrasi pada latihan kita. Kita tidak boleh gagal dalam latihan ini,” ujar Eric.
Aku hanya terdiam mendengarkan percakapan mereka. Pikiranku tertuju pada kejadian semalam saat aku bermimpi. Mimpi tersebut terasa sangat nyata dan aku merasa pernah melihatnya di suatu tempat.
Alex merupakan orang yang terkuat di antara kami selain komandan. Ia selalu mendapatkan nilai yang tinggi dalam ujian dan selalu berhasil dalam melakukan hal-hal yang sulit.
Ami adalah seorang ksatria wanita. Sangat sedikit wanita yang bergabung untuk menjadi ksatria karena pekerjaan ini lebih mementingkan kekuatan fisik. Walaupun begitu, seorang ksatria harus memiliki mental dan jiwa yang kuat agar tidak mudah dikalahkan oleh musuhnya.
Beberapa jam kemudian, kami sampai ke sebuah pohon besar. Pohon ini adalah salah satu pohon utama penyokong hutan ini dan disebut sebagai The Tree Of Ages dan telah tumbuh selama ribuan tahun.
“Aku akan menggunakan mantera pemanggil monster. Kalian segera bersiap-siaplah untuk menghadapinya,” perintahnya kepada kami.
“MONSTER GATHERING!!!” teriaknya.
Kemudian terdengar suara raungan binatang dan suara langkah kaki. Suara tersebut semakin mendekat dan muncullah sekawanan Goblin. Kami mengeluarkan senjata kami dan membuat formasi. Komandan Sagas berada di paling depan. Formasi kami adalah formasi anak panah (Arrow Head). Aku dan Eric berada di tengah sedangkan Mia dan Alex berada di belakang. Goblin-goblin tersebut mengelilingi kami membentuk setengah lingkaran.
“Aku akan mengalihkan perhatian mereka, kalian bereskan yang lainnya,” perintahnya kepada kami.
Komandan lalu langsung menyerang goblin yang terdepan dan menghunuskan senjatanya ke goblin tersebut. Goblin-goblin yang lain bergerak menuju komandan untuk menyerangnya. Aku dan Eric menangkis serangan dua goblin terdepan. Alex dan Ami menyerang dua goblin di belakang dengan serangan yang telak. Eric menghempaskan goblin di depannya dan bergerak untuk menyerang goblin yang sedang kutangkis. Komandan lalu menyerang goblin yang dihempaskan Eric tadi.
“Tampaknya semua Goblinnya telah kita kalahkan. Bersiap-siaplah untuk monster yang selanjutnya. Kali ini, kita akan memakai sihir,” perintahnya kepada kami.
Kami menggunakan Herb untuk mengobati luka kami. Kemudian, komandan kembali membaca mantera kemudian terdengar kembali suara raungan. Kali ini suaranya terdengar lebih besar dan nyaring. Sepertinya monster ini lebih kuat dari yang tadi. Tiba-tiba, muncul sekawanan beruang berjalan mendekati kami. Beruang-beruang tersebut berjumlah 6 ekor.
“Sepertinya kita kalah jumlah. Kalian urus 4 beruang yang ada. Aku akan menahan 2 ekor beruang di depan,” perintahnya kepada kami.
Kami kembali membentuk formasi. 3 orang berada di depan yaitu komandan di tengah, Alex di sebelah kanan depan, dan aku di sebelah kiri depan sedangkan Mia dan Eric berada di belakang.
“Komandan… Kenapa aku berada di posisi depan? Aku tidak begitu ahli dalam menggunakan sihir,” ujarku kepada komandan.
“Kali ini aku yakin kau bisa melakukannya. Konsentrasi pada pertarungan dan jangan takut. Pertarungan ini akan kita menangkan bila kita bekerja sama,” ujarnya.
“Ta… Tapi…,” ujarku dengan ragu.
Komandan mulai membaca mantera. Sekeliling tubuhnya mengeluarkan aura dan aura tersebut berubah menjadi api dan berkumpul di senjatanya. Senjatanya menjadi membara dan panas seakan dapat melelehkan apapun yang disentuhnya.
“RAGING SWORD!!!” teriaknya.
Mantera tersebut adalah mantera untuk mengeluarkan sihir api. Sihir yang biasa digunakan oleh seorang ksatria adalah sihir jenis Support (sihir yang digunakan untuk membantu dalam penyerangan) dan jurus ini merupakan salah satu dari jurus-jurus lainnya yang dipelajari dan digunakan oleh seorang ksatria. Api yang menyelimuti senjata kami dapat menaikkan kekuatan serangan kami sehingga kami bisa lebih mudah untuk mengalahkan musuh.
Ia lalu menyerang 2 beruang yang ada di depan. Alex kemudian membaca mantera yang sama dengan komandan dan menyerang beruang di dekatnya begitu pula dengan Eric dan Ami. Aku mencoba membaca mantera yang sama, tetapi beruang di dekatku menyerangku lebih dulu. Untungnya, aku berhasil menghindar tetapi lengan kananku terluka.
“Rith! Cepat baca manteranya! Beruang itu hanya bisa dikalahkan dengan sihir!” perintah komandan kepadaku sambil menyerang beruang di dekatnya.
Aku mencoba untuk membaca mantera tersebut sekali lagi, tetapi aku tidak bisa berkonsentrasi. Beruang di depanku kembali menyerangku. Aku menangkisnya dengan senjataku. Tetapi, dengan tanganku yang terluka, aku semakin terpojok. Alex, Eric dan Ami masih sibuk bertarung dengan beruang di dekat mereka. Beruang itu semakin menekanku, aku terjatuh ke tanah dan dan senjataku terlempar ke sampingku. Dengan keadaan terkapar, aku hanya bisa melihat beruang tersebut mencoba untuk menyerangku. Tiba-tiba, komandan datang dan melindungiku dengan punggungnya. Luka yang didapatnya sangat dalam. Ia mencoba untuk berdiri tetapi, dia terlihat sangat lemas.
“Ko… komandan…,” ujarku.
Beruang tadi kembali menyerang komandan dan melukai bagian pundak sebelah kirinya. Aku hanya bisa terdiam dan melihatnya dengan penuh ketakutan. Kemudian, muncul satu lagi beruang. Nampaknya, komandan baru menghabisi satu beruang saja saat akan menolongku.
“Gawat. Mungkin aku akan mati bila diserang oleh kedua beruang tersebut,” ujarnya.
Kedua beruang tersebut menyerang komandan secara bersamaan. Komandan sama sekali tidak bergerak. Nampaknya serangan kedua beruang tersebut akan mengenai komandan dengan telak dan dapat membunuhnya.
“Komandan!!!!” teriak Ami, Alex, dan Eric.
Aku memejamkan mataku karena tidak berani melihat hal itu. Aku begitu takut sehingga sama sekali tidak bisa bergerak dan bahkan berbicara. Tiba-tiba, aku merasakan ada air yang mengenai tubuhku.
“A… Air? Tidak… Ini bukan air biasa. Air ini terasa kental dan baunya seperti… Darah?!” ujarku dalam hati sambil terpejam.
Aku langsung membuka mataku dan melihat komandan terkapar ditanah. Aku berteriak dan mendekatinya. Matanya terpejam dan tubuhnya berlumuran darah. Lalu, seseorang mendekatiku dan menenangkanku.
“Tenanglah dia belum mati. Kami telah membunuh kedua beruang tersebut sebelum mengenainya. Nampaknya ia pingsan akibat terlalu banyak mengeluarkan darah,” ujarnya.
Aku menatap orang tersebut dan mengamatinya. Ia memakai baju berwarna perak dengan beberapa pelindung di bagian tubuhnya dan terdapat 2 orang dengan pakaian yang sama dibelakangnya.
“Bukankah kalian ksatria kerajaan? Sepertinya kita selamat. Terima kasih atas bantuannya,” ujar Eric.
Ksatria kerajaan adalah ksatria tingkat tinggi yang ditugaskan untuk melindungi kerajaan Vangardia. Mereka bertempat tinggal di istana dan semuanya merupakan prajurit-prajurit dengan keahlian yang tinggi.
Nampaknya Eric, Alex, dan Mia telah berhasil mengalahkan beruang-beruang lainnya. Sedangkan aku hanya bisa terdiam dan melihat komandan diserang tanpa bisa membantunya sedikit pun.
Kami diantar oleh para ksatria tersebut kembali menuju Arcania. Sesampainya di gerbang utara, kami diperintahkan oleh mereka untuk kembali ke Barrack. Kami kemudian segera berjalan menuju ke Barrack dan berkumpul di Community Room. Sepertinya ruangan ini sedang kosong karena saat ini tim lainnya masih berlatih di luar.
“Kuharap komandan Sagas baik-baik saja. Aku merasa bersalah karena tidak bisa menolongnya,” ujar Eric.
“Tidak, ini bukan kesalahanmu. Komandan terluka karena si bodoh itu. Ia hanya bisa menyusahkan orang lain saja. Kalau saja dia tidak dilindungi oleh guru Radd, mungkin ia sudah dikeluarkan dari tempat ini dari dulu,” ujarnya dengan kesal.
“Alex, Bukan hanya Rith yang bersalah. Kita semua juga bersalah karena tidak bisa menolong komandan!” balasnya kepada Alex.
“Sudahlah Mia! Ini semua terjadi karena kesalahanku. Aku memang hanya akan mempermalukan Arcania saja. Mungkin sebaiknya aku dikeluarkan dari tempat ini seperti kata Alex,” ujarku kepada Mia.
Aku lalu beranjak dari tempat dudukku dan berjalan menuju ke kamarku.
“Rith…,” ujar Eric.
“Huh, aku sudah muak satu tim dengannya. Lebih baik aku pindah ke Guild lain agar aku tidak bertemu dengannya lagi. Aku mau mencari udara segar dulu diluar,” ujar Alex dengan kesal.
Ia pun beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke pintu keluar. Sementara itu, komandan Sagas telah diantar oleh pasukan kerajaan ke Medical Center. Tempat itu adalah ruangan dimana ksatria-ksatria yang terluka dalam pertempuran dirawat dan diobati. Orang yang bertugas di tempat tersebut adalah para Alchemist dan Magician. Magician adalah orang-orang yang dapat menggunakan sihir tingkat tinggi. Mereka sering disebut sebagai Mage. Di tempat ini, sihir yang mereka gunakan adalah Healing Magic (sihir penyembuhan). Komandan Sagas tampaknya baru saja sadar dan disebelahnya tampak guru Radd.
“Bagaimana keadaanmu sekarang? Kau terluka cukup parah tadi. Sepertinya dugaanku benar tentang masalah ini, walaupun aku benci untuk mengakuinya,” ujar Guru Radd kepada komandan.
“Aku merasa jauh lebih baik sekarang. Kau benar Master. Binatang-binatang di hutan menjadi lebih kuat dan agresif. Mereka sepertinya telah dipengaruhi oleh sesuatu,” ujar komandan.
“Hmm… Jenderal Zieg telah memerintahkan para ksatria kerajaan untuk memperketat penjagaan di tempat ini. Kita juga telah menerima bantuan pasukan dari Guild Reincas. Sepertinya musuh kita kali ini lebih pintar dari yang kita duga,“ ujarnya.
Di dalam kamar, aku terus memikirkan kejadian tadi. Pikiranku begitu kacau sehingga aku memutuskan untuk berjalan ke tempatku biasa berlatih. Matahari tampaknya mulai terbenam. Sesampainya disana, aku mengeluarkan senjataku dan mulai berlatih. Aku terus menerus mencoba untuk menggunakan sihir dan memfokuskannya di pedangku, tetapi aku selalu gagal.
Tidak terasa, aku telah berlatih selama satu jam dan banyak keringatku yang keluar. Aku memutuskan untuk beristirahat sejenak dan bersandar di balik pohon. Tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki di belakangku. Aku langsung berdiri dan mengeluarkan
| |
| | | shiningforcefx Corporal
Jumlah posting : 82 Age : 35 Lokasi : Jakarta Barat Registration date : 24.07.08
Written On The Star Star of Destiny: Tenkai Star Race: Human
| Subyek: Re: The Story of Vangardia Sun Sep 21, 2008 10:04 am | |
| senjataku. Ternyata, dia adalah seorang wanita. Ia mempunyai rambut berwarna coklat dengan panjang sampai ke bahunya.
“Ma… Maaf. Sepertinya aku terlalu terbawa emosi saat berlatih tadi sehingga aku tidak bisa mengendalikan tindakanku ini,” ujarku kepadanya.
“Tidak apa-apa. Ngomong-ngomong, apakah kau ksatria yang bernama Rith?” tanyanya kepadaku.
“Ya, namaku Rith. Memangnya ada apa? Tidak biasanya ada orang yang mencariku,” balasku kepadanya.
“Syukurlah, aku sudah mencarimu kemana-mana. Untungnya aku bertemu temanmu yang bernama Eric dan dia memberitahukan tempat ini kepadaku. Master Radd ingin bertemu denganmu. Dia menyuruhmu untuk menemuinya di gedung Central,” ujarnya kepadaku.
Kemudian, ia pun pamit dan segera pergi. Aku mengamati pakaiannya dan sepertinya ia adalah seorang Magician.
“Aneh, kostum itu bukanlah kostum yang biasa digunakan oleh para Mage di Medical Center,” ujarku dalam hati.
Aku segera berjalan menuju ke gedung Central. Gedung Central merupakan pusat dari Guild ini dan disana tinggal para petinggi yang mengurusi keseluruhan dari Guild ini beserta semua kegiatannya. Ruangan guru Radd terletak di lantai 4 dan merupakan lantai tertinggi. Aku mengetuk pintu dan kemudian Master Radd mempersilahkanku untuk masuk.
“Master, aku telah datang sesuai perintahmu,” ujarku kepadanya.
“Sudahlah, tidak usah terlalu formal seperti itu. Aku memanggilku ke sini karena ada hal yang ingin kusampaikan kepadamu,” ujarnya.
Ia lalu memyuruhku untuk duduk. Kemudian, ia mengambil sesuatu dari kotak di mejanya.
“Aku ingin kau menyimpan benda ini. Benda ini sangat penting bagiku dan aku ingin kau menjaganya,” ujarnya.
Benda itu tampak seperti kristal berwarna biru tua. Diameternya berukuran sekitar 10 cm. Ia lalu menyerahkan benda tersebut kepadaku.
“Guru, sepertinya aku tidak bisa menerimanya. Aku takut kalau aku tidak bisa menjaga benda ini. Mungkin aku hanya akan mengecewakan guru saja. Lagipula, aku telah gagal melindungi komandan dan teman-temanku. Akan lebih baik jika Guru mengeluarkanku dari Guild ini,” ujarku kepadanya.
Guru Radd kelihatan sangat marah dan memandangku dengan tajam.
“Rith! Aku kecewa dengan kata-katamu tadi! Seorang ksatria tidak boleh memiliki mental yang lemah seperti itu! Sekarang ambillah benda ini dan perbaikilah mentalmu itu!” teriaknya kepadaku.
Aku lalu tersentak dan mengambil kristal tersebut kemudian aku berjalan keluar dari gedung Central. Tiba-tiba, aku bertemu komandan Sagas di dekat pintu keluar. Ia terlihat jauh lebih baik, walaupun masih terdapat perban di beberapa bagian tubuhnya. Ia mencoba menyapaku, tetapi aku hanya terdiam dan pergi meninggalkannya. Dengan sedikit heran, komandan berjalan menuju tempat guru Radd.
“Master, aku datang sesuai perintahmu,” ujarnya kepada guru Radd.
“Sagas… Apa kau bertemu dengan Rith tadi?” tanyanya kepada komandan.
“Ya, dia tampak begitu murung. Apa ada sesuatu yang terjadi dengannya? Dan… Kristal yang dibawanya itu. Bukankah itu…,” ujar komandan.
Guru Radd lalu berdiri dan memandang kearah jendela.
“Dia banyak mendapatkan tekanan dari lingkungannya, tetapi aku yakin dia bisa mengatasinya,” ujar guru Radd.
“Tapi… Bukankah akan lebih baik jika ia tidak terlibat dalam hal ini?” tanya komandan.
“Mungkin kau benar. Tapi, walau bagaimana pun juga, ia akan tetap terlibat dalam hal ini. Karena... Ini adalah takdirnya,” ujar guru Radd.
“Rith....” ujar komandan.
“Aku mengerti perasaanmu. Sebenarnya aku ingin dia menjadi seorang prajurit biasa seperti yang diharapkan oleh ayahnya, tetapi sepertinya hal ini tidak bisa dihindari,” ujar guru Radd.
Aku berjalan menuju ke Barrack sambil memegang bola kristal tersebut. Pikiranku terus tertuju pada perkataan guru Radd tadi sambil memperhatikan benda pemberiannya itu. Tiba-tiba, ada seseorang berjalan berlawanan arah denganku sambil membawa setumpuk kotak. Tumpukan tersebut menutupi seluruh bagian depannya termasuk kepalanya. Ia berjalan tidak beraturan dan akhirnya menabrakku. Kami sama-sama terjatuh dan tumpukan kotak serta kristalnya pun ikut terjatuh.
“Ma…Maaf, aku tadi tidak bisa melihat jalan. Aku benar-benar minta maaf. Aduh, cerobohnya aku,“ ujarnya sambil membereskan tumpukan kotak yang jatuh berantakan.
“Tidak, aku yang salah. Aku tadi sedang memikirkan sesuatu dan tidak memperhatikan jalan,” ujarku kepadanya sambil mencari-cari kristal yang terjatuh.
Kami mengurusi barang kami masing-masing yang terjatuh sambil melihat kebawah. Aku melihat kristal tersebut di atas sebuah kotak dan mencoba mengambilnya. Tiba-tiba, tangannya memegang kristal tersebut dan secara tidak sengaja aku menyentuh tangannya. Kami saling bertatapan dan ternyata, orang yang menabrakku tadi adalah wanita yang menemuiku di tempat latihan beberapa saat yang lalu. Aku dengan cepat menarik tanganku dari tangannya.
“Maaf, aku hanya ingin mengambil kristal itu. Aku tidak bermaksud lain, sungguh,” ujarku sambil tersipu malu.
“Ah, tidak apa-apa. Lagipula, akulah yang terlalu ceroboh sehingga menabrakmu,” ujarnya juga sambil tersipu.
Aku lalu mengambil kristal tersebut dan membantunya membereskan kotak-kotak yang berserakan.
“Kau sepertinya kerepotan, biar aku membantumu membawanya,” ujarku.
Ia tersenyum kepadaku. Kemudian, kami berjalan berdua sambil membawa kotak-kotak tersebut.
“Ngomong-ngomong, kotak-kotak ini mau dibawa kemana? Dan kenapa tadi kau membawa kotak sebanyak itu sendiri? Bukankah lebih mudah jika kau meminta bantuan orang lain untuk membawakan kotak-kotak ini?” tanyaku kepadanya.
“Aku ditugaskan oleh komandanku untuk membawa kotak-kotak ini ke Medical Center. Teman-temanku sedang mengurusi barang yang lain. Supaya cepat selesai, aku memutuskan untuk membawa semua kotak tersebut. Tapi, kotak-kotaknya begitu banyak sehingga aku kesulitan untuk melihat jalan,” balasnya kepadaku.
Dia kelihatan sangat polos. Tampaknya ia sedikit lebih pendek dariku dan memiliki sifat yang sedikit ceroboh. Sambil berjalan, aku sesekali melihatnya. Jantungku berdebar dengan kencang dan aku sepertinya tidak berani melihat langsung ke matanya.
“Oh iya, aku belum memperkenalkan diriku. Namaku Lenny dan aku adalah seorang Magician. Senang bertemu denganmu,” ujarnya.
“Senang bertemu denganmu juga. Namaku Rith, seperti yang kau tahu, aku adalah ksatria di tempat ini. Aku tidak pernah melihat Magician sepertimu bekerja di Medical Center,” ujarku kepadanya.
“Aku sebenarnya adalah Magician dari Guild Reincas. Beberapa anggota guild kami ditugaskan di tempat ini untuk sementara oleh jenderal Zieg. Aku mengajukan diri untuk tugas ini karena aku ingin sekali berpergian ketempat lain. Rasanya menyenangkan sekali bisa melihat tempat dan hal-hal yang baru,” ujarnya.
Guild Reincas adalah tempat para Magician dilatih. Guild tersebut terletak di daerah pegunungan Graith yang lumayan jauh dari tempat ini. Berbeda dengan Magician di medical center, Magician di Reincas menguasai sihir-sihir tingkat tinggi dan memiliki jenis sihir yang sangat beragam.
Setelah berjalan selama beberapa saat, kami tiba di Medical Center dan disana kami menemui seorang Magician yang telah menunggu kotak tersebut.
“Kenapa lama sekali? Aku sangat lelah menunggu kalian. Cepat taruh kotak-kotak itu disana,” ujarnya sambil menunjuk ke sudut ruangan.
“Maaf, aku tadi mengalami kesulitan untuk membawa kotak-kotak ini,” ujar Lenny kepada Magician tersebut.
Kami lalu menaruh kotak-kotak tersebut di sudut ruangan dan berjalan ke luar dari Medical Center. Di luar, Lenny berterima kasih kepadaku dan segera pergi karena ia harus mengurusi barang-barang yang lain. Aku memandanginya saat ia berjalan menjauhiku dan tersenyum. Tiba-tiba, seseorang datang dan menghampiriku sehingga membuatku terkejut.
“Hey! Sepertinya kau sedang terbinat-binar hari ini. Ngomong-ngomong, siapa wanita cantik itu? Dimana kau bertemu dengannya?” tanyanya kepadaku.
Ternyata dia adalah Eric. Mia juga ada di dekatnya, tetapi aku tidak melihat Alex.
“Ti…Tidak, bukan seperti itu. Aku hanya membantunya karena ia terlihat kesulitan. Itu saja. A... Aku tidak membantunya karena aku menyukainya kok,” ujarku dengan sedikit gugup.
“Heh, aku tidak pernah bertanya hal itu. Apa jangan-jangan kau…,” ujarnya sambil sedikit tertawa.
“Hey, sudahlah! Bukankah kita harus berkumpul di aula?! Ayo cepat jalan!” ujar Ami kepada kami berdua.
“Kenapa kau begitu terburu-buru? Bukankah tadi kau yang bilang kalau kita tidak usah terburu-buru?” ujar Eric kepada Ami.
Kami bertiga berjalan bersama-sama menuju ke aula. Di sana, suasananya agak ramai dan sedikit berisik.
“Kenapa tiba-tiba kita disuruh untuk berkumpul di aula? Apakah ada sesuatu yang penting?” tanyaku kepada Eric.
“Entahlah, aku juga belum tahu apa-apa. Kita lihat saja apa yang akan disampaikan nanti,” jawabnya.
Tak lama kemudian, Alex datang dan menghampiri kami. Aku dan dia saling bertatapan dengan tajam dan kemudian, terdengar suara terompet berbunyi. Suara tersebut menandakan bahwa kami harus berbaris dengan rapi dan memperhatikan podium. Guru Radd datang dan berjalan menuju ke podium.
“Beberapa saat yang lalu, aku telah menerima informasi yang sangat penting dari para ksatria kerajaan. Pasukan kerajaan Salidan telah terlihat dan saat ini sedang berjalan menuju ke tempat ini dari arah utara dan barat. aku ingin kalian segera bersiap-siap dan berkumpul di pos masing-masing sesuai dengan petunjuk dari komandan kalian,” ujarnya kepada kami semua.
Kami semua terkejut dan kemudian guru Radd pergi meninggalkan podium. Ia kemudian berbicara dengan jenderal Zieg.
“Beberapa ksatria kerajaan sedang menuju ke tempat ini. Aku telah menempatkan ksatria kerajaan yang lebih dulu tiba di tempat-tempat yang vital,” ujarnya kepada guru Radd.
“Bagus, kuharap pertempuran ini tidak sesulit yang kita bayangkan. Aku tidak mengira kalau Salidan akan mengirimkan pasukannya ke tempat ini,” ujar guru Radd.
“Tapi… Penyerangan ini tidak lazim. Berdasarkan informasi dari pasukan patroli, pasukan Salidan yang akan terlihat tidak sebanyak yang kita duga dan sepertinya mereka tidak cukup kuat untuk menghancurkan Guild ini,” ujar jenderal Zieg.
“Atau... Mungkinkah mereka memang tidak berniat untuk menghancurkan tempat ini?” tanya guru Radd.
Jenderal Zieg hanya terdiam dan kemudian ia berjalan menuju ke gedung Central.
“Aku harap sesuatu yang buruk tidak akan terjadi,” ujar jenderal Zieg.
Aku dan teman-teman yang lainnya berjalan menuju ke Barrack. Di tengah jalan, kami bertemu dengan Bod. Ia sedang berbicara dengan teman-temannya kemudian melihat kearahku dengan pandangan yang sinis.
“Hey, bukankah itu si anak bodoh? Sepertinya kau ketakutan menghadapi pasukan dari kerajaan Salidan. Lebih baik kau berlindung saja di kamarmu dan berdoa agar kau tidak diserang oleh mereka,” ujarnya kepadaku.
Alex kemudian mendekati Bod dan menatap matanya.
“Hey gendut! Badanmu yang besar itu sepertinya lebih menarik untuk dijadikan target oleh pasukan Salidan. Dagingmu sepertinya bisa membuat binatang peliharaan mereka merasa kenyang untuk beberapa hari,” ujarnya kepada Bod.
“Apa?! Beraninya kau! Ayahku telah mengirimkan beberapa ksatria terbaiknya untuk membantuku berperang. Aku akan membuatmu menyesal telah mengatakannya!” teriaknya kepada Alex.
Bod lalu pergi bersama teman-temannya dan menjauhi kami. Alex lalu menyuruh kami untuk melanjutkan perjalanan menuju ke Barrack.
“Alex… Tidak biasanya kau menolong Rith seperti tadi,” ujar Eric.
“Kau jangan salah sangka. Aku berbicara seperti itu tadi karena aku kesal melihat sifat dan cara bicaranya yang sombong itu. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk menolong Rith,” ujarnya dengan sedikit kesal.
Sesampainya di Barrack, kami menyiapkan peralatan masing-masing. Mia kemudian memberi tahu bahwa kami telah ditunggu di gerbang barat. kami lalu menuju ke sana dan setibanya di tempat itu, aku sedikit heran karena orang yang menunggu kami bukanlah komandan Sagas. | |
| | | shiningforcefx Corporal
Jumlah posting : 82 Age : 35 Lokasi : Jakarta Barat Registration date : 24.07.08
Written On The Star Star of Destiny: Tenkai Star Race: Human
| Subyek: Re: The Story of Vangardia Sun Sep 21, 2008 10:04 am | |
| “Ah, kalian pasti para anggota dari grupnya Sagas. Namaku Liz, aku ditugaskan untuk menggantikannya sementara dalam pertempuran ini karena ia mendapatkan tugas lain,” ujarnya kepada kami.
Kami berkenalan dengannya dan menanyakan tentang rencana yang akan dijalankan dalam pertempuran nanti. Komandan Liz menjelaskan bahwa kami hanya diperintahkan untuk berada dalam posisi Defend (Berlindung). Jumlah musuh dan posisinya tidak diketahui secara pasti sehingga prioritas utamanya adalah melindungi pintu gerbang. Di tempat ini, terdapat beberapa tim lain selain kami dan mereka telah menempati posisinya masing-masing. Tidak lama kemudian, penjaga menara pengawas di gerbang barat berteriak untuk memberitahukan kami semua bahwa pasukan Salidan telah terlihat tidak jauh dari tempat ini.
“Semuanya, jangan sampai lengah! Mereka bisa menyerang kita secara tiba-tiba!” teriak komandan Liz kepada kami.
Kami mengeluarkan senjata kami dan bersiap di posisi masing-masing. Tiba-tiba, tanah disekitar kami bergetar dan serpihan-serpihan tanah pun terangkat ke atas. Serpihan-serpihan tanah tersebut mengaburkan pandangan kami.
“Ini… Sihir Tanah! Pertahankan posisi kalian! Musuh akan menyerang sebentar lagi!” perintah komandan Liz kepada kami.
Kemudian, sebuah senjata melayang kearah kami. Komandan Liz menangkis senjata tersebut dan mementalkannya ke samping.
“Senjata itu… Tidak salah lagi. Senjata itu adalah Halberd. Semuanya! Posisi bertahan!” perintah komandan Liz.
Halberd adalah senjata berbentuk tombak yang digabungkan dengan kampak. Senjata tersebut bisa digunakan untuk menusuk, membelah dan bisa juga digunakan dengan cara dilempar. Senjata ini merupakan senjata yang menjadi ciri khas prajurit dari kerajaan Salidan.
Kami segera memasang posisi bertahan dan kemudian muncul beberapa orang dari balik pepohonan. Mereka memiliki senjata yang sama dengan senjata yang dilemparkan tadi. 3 diantaranya menyerang kelompok kami. 2 orang musuh yang berada di belakang melemparkan senjatanya kearah kami dan yang satu lagi, terus melaju kearah kami. Alex dan aku menangkis senjata yang dilemparkan tersebut tetapi, Mia dan Eric terkena serangan secara beruntun dan serangan yang terakhir dapat ditangkis oleh komandan. Musuh yang maju tersebut lalu mundur ke belakang.
“Eric! Mia! Kalian tidak apa-apa?!” teriak komandan.
“Kami tidak apa-apa. Kami tadi berhasil sedikit menghindar,” ujar Ami.
“Sial! Getaran dan debu ini membuatku sulit untuk melihat dan memastikan keberadaan musuh,” ujar Eric.
Musuh-musuh tersebut kembali menyerang kami. Kali ini, mereka maju menyerang secara bersama-sama. Mereka bergerak dari kiri, kanan dan depan. Komandan mencoba menyerang musuh di depan tetapi musuh tersebut dapat menghindar dan melukai komandan. Alex dan Mia menangkis dan menahan serangan musuh dari sebelah kanan secara bersama-sama dan berhasil menghentikan pergerakannya. Aku menangkis serangan musuh dari sebelah kiri dan diteruskan dengan serangan dari Eric. Serangan tersebut melukai musuh tersebut dengan cukup telak dan ia lalu mundur ke arah belakangnya. Musuh di arah depan mencoba menolong temannya di sebelah kanan yang tertahan oleh Alex dan Mia tetapi, komandan menyerangnya dari belakang saat musuh tersebut berlari disertai olehku yang menyerang dari sampingnya dan berhasil melukainya. Musuh tersebut terjatuh kemudian, Eric menyerang musuh yang tertahan tersebut. Musuh tersebur membaca mantera dan tiba-tiba, tanah tempat kami berpijak terangkat dan membuat Alex, Mia dan Eric terhempas ke belakang mereka.
“Sial! Dengan keadaan seperti ini, kita tidak bisa bertarung dengan baik. Mereka lebih pintar dari yang kuduga,” ujar komandan Liz.
Tim-tim yang lain sedang bertarung dengan sengit. Tiba-tiba, muncul seorang musuh lain dari balik pepohonan dan berlari dengan kencang memasuki gerbang. Aku dengan cepat mengejarnya. Musuh tersebut membaca mantera kemudian menghujamkan senjatanya ke tanah lalu tanah di depanku terangkat dan menciptakan dinding yang kokoh sehingga jalan di depanku terhalang oleh tanah ini.
“Hah… hah… Sial! Dia berhasil menghentikanku,” ujarku dengan nafas yang terengah-engah.
Lama-kelamaan, suara langkah kakinya semakin menjauh dariku dan akhirnya aku kehilangan jejaknya. Aku terus berjalan ke arah lain dan berharap bisa menemukannya lagi. Tiba-tiba, terdengar suara gaduh dari arah gedung Central. Tampaknya ada yang sedang bertarung di tempat tersebut. Akupun langsung berlari menuju ke tempat itu dan kembali mendengar suara-suara gaduh.
”Kau harus melangkahi mayatku dulu bila ingin menemui Master Radd,” ujar seseorang di dalam gedung Central.
”Su... Suara itu, seperti suara komandan Sagas!” ujarku.
Aku dengan cepat berlari dan mendobrak pintu gedung Central. Sesampainya didalam, aku melihat komandan Sagas dan beberapa prajurit Salidan sedang berhadap-hadapan. Mereka berjumlah 4 orang dan sepertinya mereka sedang bersiap-siap untuk menyerang komandan.
”Rith! Sedang apa kau disini! Cepat pergi dari tempat ini! Mereka terlalu kuat bagimu!” teriaknya kepadaku.
”Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu terluka lagi! Aku akan membantumu melawan mereka komandan!” balasku kepadanya.
”Huh, dasar keras kepala,” ujarnya sambil sedikit tersenyum.
2 orang ditengah mulai bergerak mendekati komandan dan 2 orang di samping bergerak mendekatiku. Aku menghindari serangan pertama dan menangkis serangan yang kedua sedangkan komandan menghindari kedua serangan yang ditujukan kepadanya dan berbalik menyerang mereka. Sayangnya, serangan komandan berhasil dihindari dan temannya menyerang komandan dari samping. Komandan menangkisnya dengan senjatanya kemudian menendangnya lalu memukul musuh yang lain dengan tangan kirinya. Ia lalu menoleh kearahku dan berlari untuk membantuku.
”Rith! Jangan sampai lengah, mereka bukan prajurit biasa!” teriaknya kepadaku.
Kedua musuh didekatku menyerangku terus menerus. Aku hanya bisa menangkis serangan mereka dan terus mundur kebelakang. Aku semakin terdesak dan mulai kelelahan. Salah satu dari musuh di depanku meloncat dan bergerak ke arahku, tetapi komandan Sagas segera menangkis serangan tersebut. Ia terjatuh kemudian, dengan segera, aku menyerang musuh tersebut dan melukainya. Aku dan komandan Sagas lalu menyerang satu orang yang tersisa secara bersama-sama dan melukainya dengan cukup parah sehingga ia langsung terjatuh dan pingsan.
”Kita harus segera ke tempat Master Radd. Ia tengah diincar oleh para ksatria Salidan,” ujar komandan kepadaku.
Kami lalu berlari menaiki tangga menuju ke lantai teratas. Dalam perjalanan ke lantai teratas, aku mendengar suara pertempuran di luar. Sepertinya telah terjadi pertarungan yang sengit disana. Sesampainya di lantai teratas, aku melihat guru Radd dan seorang pria yang tidak kukenal. Pria tersebut tinggi dan sebagian besar tubuhnya tertutup oleh jubah. Ia menggunakan penutup kepala.
”Hmm.... Jadi, bagaimana dengan tawaranku tadi. Apakah kau mau bekerja sama dengan kami? Kalau kau setuju, aku akan menarik mundur semua pasukanku,” ujarnya kepada guru Radd.
”Aku tidak akan pernah menerima tawaranmu itu. Lagipula, prajurit-prajuritku tidak selemah itu. Mereka tidak akan kalah dari pasukanmu,” balas guru Radd.
”Kau membuat pilihan yang salah. Sepertinya aku harus menggunakan cara yang lebih keras,” ujar pria misterius tersebut.
Pria tersebut membaca sebuah mantra dan tiba-tiba, muncul hawa yang sangat dashyat disekitarnya.
”Wahai makhluk penguasa bumi, datanglah dan pinjamkan aku kekuatanmu. Dengarkan dan penuhilah permohonanku ini. GIGANTIS!!” ujarnya.
Sesaat kemudian, tanah berguncang dengan keras dan awan di langit berubah menjadi hitam. Permukaan tanah retak dan terkelupas akibat guncangan keras tersebut. Tiba-tiba, seekor makhluk besar keluar dari permukaan tanah. Bentuknya terlihat seperti kura-kura dan permukaan tubuhnya dipenuhi oleh tanah dan lumpur. Makhluk tersebut meraung dengan keras lalu ia menghampiri tempat ini. Aku bisa melihatnya datang dari jendela dan tatapannya sangat tajam dan mengerikan.
”Ma... Makhluk apa itu? Aku... tidak pernah merasa sangat ketakutan seperti ini seumur hidupku,” ujar komandan Sagas dengan gemetar.
”Bukankah itu Gigantis? Makhluk legendaris yang konon telah dikurung di kuil pegunungan Sahgra? Kenapa kau melepaskannya?” ujar guru Radd.
Pria misterius tersebut menatap guru Radd dan tersenyum.
”Para Sage yang mengurung dan menyegelnya dahulu tidak pernah berpikir betapa bergunanya kekuatan makhluk itu. Dengan kekuatan yang dimilikinya, aku bisa menciptakan kerajaan yang terkuat dan terhebat dalam sejarah negeri ini,” ujar pria misterius tersebut kepada guru Radd.
”Kau benar-benar bodoh. Apa kau tidak tahu betapa mengerikannya makhluk tersebut?!” balas guru Radd.
”Diamlah! Sekarang cepat beritahukan dimana letak Artifak yang kau simpan itu atau aku akan menghancurkan tempat ini!” perintahnya kepada guru Radd.
”Jangan sentuh guru Radd, dasar brengsek!!!” teriakku.
Aku segera berlari menuju pria misterius tersebut dengan membawa pedangku dan menyerangnya dengan tusukan ke arah dadanya. Ia dengan cepat mengelak dan menghempaskan tubuhku ke arah dinding.
”Rith!!!” teriak guru Radd dan komandan Sagas.
”Ah... Sudahlah, lebih baik tempat ini kuhancurkan saja. Setelah itu, aku akan mencari artifak itu di reruntuhan tempat ini,” ujar pria misterius tersebut.
Ia lalu meloncat ke arah jendela dan naik ke punggung Recorn. Recorn adalah makhluk yang mempunyai tubuh seperti burung. Makhluk ini mempunyai dua pasang sayap, empat buah kaki dan mempunyai ukuran tubuh yang besar. Kemudian, ia memerintahkan Gigantis tersebut untuk menghancurkan tempat ini. Makhluk tersebut mundur, lalu meraung dan mengumpulkan energi di punggungnya. Tanah disekitar makhluk tersebut bergoncang dengan hebat dan menghancurkan semua yang ada disekitarnya. Goncangan tersebut semakin meluas dan mulai mendekati tempat ini.
”Ini buruk. Sagas, segera perintahkan semua yang ada disini untuk pergi sejauh mungkin dari tempat ini! Perintahkan kepada para ksatria kerajaan untuk membentuk Barrier!” perintahnya kepada komandan Sagas.
”Baik! Akan segera saya laksanakan Master” ujar komandan Sagas.
Komandan lalu bergegas menuju pintu keluar dari ruangan ini. Guru Radd lalu membantuku berdiri dan mengatakan kepadaku untuk segera keluar dari tempat ini. Dia lalu memberiku sebuah bungkusan kecil.
”Tapi... Bagaimana denganmu guru?” tanyaku kepadanya.
”Rith, kau harus keluar dari tempat ini. Aku dan ksatria-ksatria kerajaan akan bertarung untuk melindungi tempat ini. Pergilah ke Basement bawah tanah gedung ini,” ujarnya kepadaku.
Aku kemudian berlari menuruni tangga dan di tengah perjalanan, aku mendengar suara terompet ditiupkan. Suara tersebut adalah tanda evakuasi. Aku terus berlari dan akhirnya sampai di pintu basement bawah tanah. Aku membuka pintu tersebut dan di dalamnya terdapat sebuah lingkaran sihir dan dikelilingi oleh 4 buah tugu batu. Aku berjalan dengan perlahan ke lingkaran sihir tersebut dan tiba-tiba, lingkaran tersebut bercahaya. Tugu-tugu batu di sekitarnya mengeluarkan tulisan-tulisan mantra yang bercahaya dan tubuhku kemudian dipenuhi oleh cahaya-cahaya tersebut.
”A... Apa ini? Aku merasakan sesuatu yang aneh di tubuhku,” ujarku dengan sedikit kebingungan.
Tiba-tiba, terdengar bunyi dentuman keras. Ruangan ini bergetar dan beberapa batu berjatuhan di sekitarku. Sepertinya serangan pertama dari makhluk tersebut berhasil ditahan dengan Barrier. Lama-kelamaan, Tubuhku terasa semakin aneh dan aku merasa seperti melayang. Kemudian, terdengar suara dentuman yang lebih keras. Aku berteriak dan tiba-tiba, sekelilingku berubah menjadi putih lalu akupun tak sadarkan diri. | |
| | | shiningforcefx Corporal
Jumlah posting : 82 Age : 35 Lokasi : Jakarta Barat Registration date : 24.07.08
Written On The Star Star of Destiny: Tenkai Star Race: Human
| Subyek: Re: The Story of Vangardia Sun Sep 21, 2008 10:06 am | |
| Chapter 2 : An Isolated Village
Aku membuka mataku dan tiba-tiba, aku sudah berada di atas sebuah kasur. Aku terbangun oleh sinar matahari yang menembus dari jendela membuat mataku silau. Suara kicauan burung terdengar dari luar. Sepertinya, hari sudah pagi dan tubuhku yang terluka sudah diobati dan dibalut dengan perban.
”Di... Dimana ini? Apa yang telah terjadi padaku?” tanyaku kepada diriku sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara pintu yang terbuka dan suara langkah kaki. Suara langkah kaki tersebut semakin mendekatiku.
”Kau sudah sadar rupanya anak muda. Kau terluka cukup parah kemarin dan kau harus banyak beristirahat untuk memulihkan lukamu,” ujar seseorang.
Aku menatapnya dan ternyata dia adalah lelaki tua yang kutemui kemarin malam. Aku mencoba bangun dari tempat tidur, tetapi badanku mendadak terasa sakit. lelaki tua tersebut dengan cepat memegangku dan menyuruhku untuk kembali tidur.
”Lukamu bisa bertambah parah, beristirahatlah dan jangan memaksakan dirimu. Aku akan membuatkan obat untuk mengurangi rasa sakitmu,” ujarnya kepadaku.
”A... Apa yang terjadi saat aku pingsan kemarin malam? Bagaimana dengan warga desa yang lain?” tanyaku kepadanya.
”Banyak warga yang terluka, tapi untungnya setelah kau mengalahkan serigala besar itu, serigala-serigala yang lain langsung berlarian pergi dari desa ini. Kau tidak usah terlalu mengkhawatirkan hal itu. Ngomong-ngomong, kita belum sempat berkenalan kemarin, namaku Xenoc,” ujarnya kepadaku.
”Namaku Rith. Sepertinya aku berhutang budi padamu Xenoc, ingatkan aku untuk membalasnya,” ujarku.
Ia tersenyum kepadaku dan berjalan menuju ke pintu kamar. Aku merebahkan diri di tempat tidur dan membayangkan peristiwa yang terjadi kemarin malam. Aku mengangkat tanganku dan menatap kearah telapak tanganku kemudian aku menghela nafas dan memejamkan mataku.
Diluar, Xenoc berjalan menuju ke rumah kepala desa. Ia mengetuk pintu dan kemudian seorang wanita muncul dan membukakan pintu lalu mempersilahkannya untuk masuk.
”Selamat pagi Xenoc. Sepertinya kau sedikit terlambat untuk menemuiku,” ujar seorang pria tua sambil mendekati Xenoc.
”Selamat pagi kepala desa, maaf aku sedikit terlambat. Luka pemuda tersebut cukup parah dan aku harus meramu obat khusus untuk menyembuhkannya,” ujar Xenoc.
Kepala desa mempersilahkan Xenoc untuk duduk dan kemudian istrinya datang dan menyuguhkan minuman.
”Kepala desa, bisakah kau mempertimbangkan keputusanmu itu? Bukankah pemuda itu yang telah menyelamatkan warga-warga desa kita kemarin?” tanya Xenoc.
”Aku tahu itu, tapi Xenoc, saat ini kita sedang menghadapi ancaman yang serius. Aku tidak bisa mengambil resiko dengan membahayakan keselamatan seluruh penduduk desa,” ujar kepala desa.
”Tapi...,” ujar Xenoc.
Tiba-tiba, muncul seorang gadis dari pintu depan. Ia mempunyai rambut panjang yang dikepang dan berwarna merah tua. Gadis tersebut membawa keranjang berisi buah-buahan dengan tangan kanannya.
”Selamat pagi ayah! Aku membawakan buah-buahan dari kebun kita yang baru saja kupetik,” ujarnya.
”Ah, putriku. Kau kelihatan ceria sekali hari ini,” ujar kepala desa sambil tersenyum.
”Perkebunan kita sepertinya tidak rusak parah akibat serangan kemarin malam. Aku masih bisa memetik buah-buahan yang ada dan mengumpulkannya di keranjang ini,” ujarnya dengan penuh semangat.
“Hahahaha.... Syukurlah kalau begitu. Kalau begitu, bolehkah ayah mencicipi buah-buahan itu?” tanyanya pada Karen.
“Nanti dulu ayah, aku ingin membagi-bagikannya kepada warga desa lain yang sedang terluka. Aku harap buah-buahan ini dapat membantu mereka agar cepat sembuh. Oh, paman Xenoc. Maaf, aku tidak tahu kalau kau ada disini,” ujarnya.
“Tidak apa-apa Karen. Baiklah kepala desa, aku pamit dulu karena masih ada pekerjaan lain yang harus diselesaikan,” ujar Xenoc.
Ia pun bergegas pergi dan berjalan menuju ke sebuah rumah kecil lalu membuka pintu rumah tersebut. Di dalamnya, terdapat seseorang yang sedang mengobati warga-warga desa yang terluka. Ia beristirahat sejenak dan melihat ke arah Xenoc.
”Oh, hai Xenoc! Maaf, aku tidak melihat kau masuk kemari,” ujarnya.
”Sepertinya kau terlalu sibuk dengan pekerjaanmu itu. Seharusnya aku yang minta maaf karena telah mengganggumu,” ujar Xenoc.
”Sudahlah, hal itu tidak usah terlalu dipikirkan. Kebetulan, aku memang berniat untuk beristirahat. Aku sudah berjam-jam merawat orang-orang ini. Beberapa dari mereka masih pingsan, tapi untungnya mereka semua selamat dan berhasil melewati masa kritisnya. Oh, aku hampir lupa! Ini dia bahan-bahan yang kau minta. Tadinya aku ingin mengantarnya langsung ke rumahmu, tapi sepertinya aku tidak sempat,” ujarnya.
“Terima kasih, nampaknya aku telah banyak merepotkanmu. Baiklah kalau begitu, aku pamit dulu. Sama sepertimu, aku masih punya pekerjaan yang harus kuselesaikan,” ujar Xenoc.
Aku kembali terbangun dari tidurku dan melihat-lihat sekitar. Aku melihat pakaianku di atas meja kecil kemudian, aku turun dari tempat tidur dan berjalan ke meja kecil tersebut dan mengenakan pakaianku itu. Setelah selesai berpakaian, aku mengambil senjata dan perbekalanku.
”Nampaknya aku sudah cukup beristirahat. Aku tidak boleh bersantai-santai seperti ini. Masih ada hal yang harus kukerjakan,” ujarku pada diri sendiri.
Kemudian aku berjalan menuju pintu dan keluar dari rumah tersebut. Nampaknya hari sudah siang dan aku melihat beberapa penduduk desa diluar sedang mengerjakan aktivitasnya masing-masing. Aku berjalan perlahan sambil melihat-lihat ke sekelilingku. Beberapa penduduk desa menatapku sambil berbisik kepada temannya. Aku tidak menghiraukan sikap mereka itu dan terus berjalan menyusuri desa. Di tengah jalan, aku bertemu dengan seorang gadis. Ia berjalan sambil membawa sebuah keranjang berisi buah-buahan yang masih segar. Ia lalu berhenti di depanku dan menyapaku sehingga aku segera menghentikan langkahku.
”Hai! Kau pasti pemuda yang terluka kemarin malam. Namaku Karen, aku putri dari kepala desa. Ngomong-ngomong, kenapa kau berada di luar? Lukamu sepertinya belum sembuh betul. Kau jangan terlalu memaksakan dirimu seperti ini. Makanlah buah-buahan ini agar kau merasa baikan,” ujarnya sambil menawarkan keranjang berisi buah-buahan.
”Maaf, tapi aku sedang terburu-buru saat ini,” tolakku.
Aku lalu berjalan menjauhi gadis tersebut, tetapi tiba-tiba muncul rasa sakit yang sangat hebat dan aku pun terjatuh tak sadarkan diri.
Di tempat lain, Xenoc sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Raut mukanya menunjukkan bahwa ia sedang kesulitan.
“Hmm.... Tampaknya aku butuh waktu yang lebih lama lagi. Sepertinya aku sudah semakin tua untuk hal ini,” ujar Xenoc.
Tiba-tiba seorang anak kecil masuk dari pintu dan menghampiri Xenoc.
“Kakek, ini bahan-bahan yang kau minta. Oh, sepertinya kakek sedang kesulitan. Apakah kakek membutuhkan bantuanku?” tanya anak tersebut.
“Oh, Lilith. Terima kasih atas perhatianmu, tapi kau sudah sangat membantuku. Kakek hanya butuh sedikit waktu lagi untuk menyelesaikannya jadi kau tidak usah khawatir. Beristirahatlah sekarang, kakek yakin kau sangat kelelahan setelah mengumpulkan bahan-bahan ini,” ujar Xenoc.
“Tapi, kakek sedang membuat apa? Aku tidak pernah melihat kakek membuatnya,” tanya Lilith.
“Hahahaha... Ini urusan orang dewasa, jadi kamu belum boleh tahu,” ujar Xenoc.
“Huh, curang! Aku benci kakek!” teriak Lilith dengan nada sedikit kesal sambil berjalan menuju ke kamarnya.
Aku membuka mataku dan melihat sekeliling. Sepertinya aku telah berada di sebuah kamar, tetapi kamar ini bukan kamar yang terletak di rumah Xenoc.
“Kau sudah sadar rupanya. Syukurlah, aku sangat terkejut saat kau tiba-tiba pingsan dan terjatuh di depanku. Aku berteriak minta tolong pada warga di sekitar untuk membawamu ke rumahku,” ujarnya sambil tersenyum lega.
Aku pun beranjak bangun dari tempat tidur tersebut dan melihat-lihat sekeliling.
“Jadi ini rumahmu? Sepertinya aku telah merepotkanmu. Aku minta maaf,” ujarku kepada gadis itu.
“Ah, tidak apa-apa. Aku senang bisa menolong orang lain. Ngomong-ngomong, kenapa kau begitu terburu-buru seperti itu? Lukamu belum sembuh dan kau hanya akan membunuh dirimu sendiri bila kau pergi dengan keadaan seperti itu,” ujarnya kepadaku.
“Aku masih mempunyai hal penting yang harus aku selesaikan. Kau tidak usah terlalu menghawatirkan diriku,” jawabku kepadanya.
“Tapi bila kau tetap bersikeras seperti itu, kau akan terbunuh,” ujarnya kepadaku.
Aku memalingkan mukaku darinya dan kami berdua hanya terdiam. Tiba-tiba, ia berdiri dan berjalan menuju pintu.
“Aku masih ada pekerjaan lain. Beristirahatlah dulu di sini dan jangan terlalu memaksakan dirimu. Aku akan memberitahukan Xenoc bahwa kau ada di rumahku,” ujarnya kepadaku dengan kepala yang tertunduk.
Gadis itu lalu menuju ke luar kamar dan menutup pintunya. Aku memegang dadaku yang masih terasa sedikit sakit dan menyenderkan badanku.
“Sial, sepertinya rasa sakitnya masih terasa sampai saat ini. Tapi, aku tidak boleh berlama-lama seperti ini,” ujarku dengan sedikit kesal.
Karen berjalan menuruni tangga kemudian di ruang tamu, ia berpapasan dengan kepala desa dan beberapa orang yang mendampinginya.
“Ayah, hari ini kau jarang kelihatan di rumah. Apa ada sesuatu yang penting sehingga kau jadi begitu sibuk seperti ini?” tanya Karen kepada kepala desa.
“Karen, aku dengar pemuda itu ada di rumah kita. Apa kau yang telah membawanya ke sini?” tanya kepala desa.
“I... Iya, ayah. Tadi dia mendadak terjatuh dan pingsan, jadi aku membawanya kesini untuk beristirahat. Sepertinya lukanya masih belum pulih betul. Aku baru akan memberitahukan Xenoc bahwa pemuda itu ada di sini,” jawab Karen.
“Hmm... Biar aku saja yang memberitahukan Xenoc. Kau beristirahat saja di kamarmu, ayah khawatir kalau kau terlalu lelah setelah membantu merawat warga-warga desa yang terluka,” ujar kepala desa.
Karen kemudian mengangguk dan berjalan menuju ke kamarnya yang terletak di lantai satu.
“Kepala desa, apakah anda yakin dengan hal ini?” ujar salah seorang warga desa.
“Kita tidak mempunyai pilihan lain dan sebaiknya kita menunggu sampai malam tiba,” ujar kepala desa.
Aku berbaring di tempat tidur sambil memandang ke arah langit-langit. Tiba-tiba, terdengar suara ketukan pintu. Aku terkejut dan bergegas menuju ke pintu untuk membukakannya.
“Ada yang mengetuk pintu di tengah malam seperti ini?,” tanyaku pada diri sendiri.
Aku kemudian membukakan pintu dan aku pun terkejut karena orang yang mengetuk pintuku adalah Karen. Raut mukanya terlihat sedih bercampur cemas.
“Ayahku memanggilmu. Kau disuruh untuk menemuinya di lantai satu,” perintahnya kepadaku.
Dengan sedikit heran, aku mengikuti perintahnya dan menemui kepala desa di lantai satu. Nampaknya beberapa warga desa sedang berbincang-bincang dengan kepala desa. Raut muka mereka tampak sangat serius.
“Ah, tuan Rith. Duduklah, aku dan yang lainnya ingin membicarakan sesuatu denganmu,” ujarnya kepadaku.
Aku lalu duduk berhadapan dengan kepala desa dan kemudian istrinya menyuguhkan minuman kepadaku.
“Kami minta maaf karena telah mengganggu istirahatmu, tetapi kami mempunyai hal penting yang ingin kami sampaikan kepadamu. Maukah kau mendengarkan ceritaku ini?” tanyanya kepadaku sambil memohon.
Aku lalu menyetujui untuk mendengarkan ceritanya. Kemudian, raut muka kepala desa berubah menjadi serius dan ia pun mulai bercerita.
“Kira-kira satu minggu yang lalu, desa ini merupakan desa yang makmur dan tentram. Penduduk desa ini jauh lebih banyak dari sekarang dan banyak pedagang yang datang ke desa ini dari daerah lain untuk membeli hasil panen kami. Semuanya berjalan normal dan keadaannya benar-benar aman sampai suatu hari terjadi keanehan di desa kami ini. Para pedagang yang biasanya datang ke desa kami sama sekali tidak nampak dan muncul. Kami bertanya-tanya dan akupun mengumpulkan semua warga desa di lapangan yang tak jauh dari sini untuk membicarakan masalah ini. Setelah pembicaraan dan perdebatan yang cukup panjang, akhirnya kami semua sepakat untuk membentuk | |
| | | shiningforcefx Corporal
Jumlah posting : 82 Age : 35 Lokasi : Jakarta Barat Registration date : 24.07.08
Written On The Star Star of Destiny: Tenkai Star Race: Human
| Subyek: Re: The Story of Vangardia Sun Sep 21, 2008 10:07 am | |
| sebuah kelompok yang terdiri dari para warga desa yang masih muda dan mereka akan bertugas untuk menyusuri jalan menuju ke luar daerah ini dan mencari tahu apa penyebab dari masalah ini,” cerita kepala desa dengan panjang lebar.
Ia lalu menghela nafasnya dan menyandarkan dirinya ke tembok. Ia terlihat begitu sedih dan tertekan. Aku bertanya kepadanya mengenai apa yang terjadi setelah itu. ia lalu melanjutkan ceritanya kepadaku.
“Keesokan harinya, kelompok yang telah dibentuk berkumpul di pintu masuk desa dan kami semua membawa perbekalan dan senjata untuk berjaga-jaga. Kami lalu segera berangkat dan mulai berjalan menyusuri hutan. Kami berjalan melewat jalan setapak menuju ke arah barat karena jalan inilah yang biasa dipakai para pedagang saat akan mengunjungi desa kami. Saat itu suasana hutan terasa begitu aneh dan tidak biasa. Hutan begitu sunyi dan kami sama sekali tidak melihat adanya binatang yang berkeliaran. Kami meneruskan perjalanan dengan perasaan cemas. Kemudian, hari pun mulai gelap dan kami memutuskan untuk beristirahat karena sudah seharian berjalan. Beberapa warga desa lalu menyiapkan tempat untuk istirahat dan kami pun berkumpul untuk membicarakan langkah selanjutnya. Suasana hutan tampak lebih aneh dan terasa mencekam saat malam tiba. Saat itu, bulan sedang purnama dan kami sama sekali tidak mendengar adanya suara binatang-binatang yang biasanya terdengar pada malam hari. Ash, anak tertuaku yang ikut di dalam rombongan, menyarankan agar kami menghentikan perjalanan kami dan segera kembali ke desa. Ia merasa ada yang tidak beres dengan hutan ini dan akan berbahaya bila kami melanjutkan perjalanan,” cerita kepala desa.
Kepala desa kembali terdiam beberapa saat. Ia kembali melanjutkan ceritanya dengan kepala yang tertunduk.
“Aku menolak usulan darinya dan memutuskan untuk terus melanjutkan perjalanan karena kami belum menemukan petunjuk apapun. Kami lalu bergegas untuk beristirahat dan tiba-tiba, terdengar suara teriakan minta tolong dari kejauhan. Aku memerintahkan kepada sebagian orang untuk menuju ke sumber suara itu dan sebagian lainnya menjaga barang-barang dan perbekalan kami. Ash memutuskan untuk tetap berada disini dan ia tampak makin gelisah. Aku menunggu kabar dari orang-orang yang telah kukirim tetapi setelah menunggu dengan cukup lama, belum ada satupun dari mereka yang kembali. Ash lalu memutuskan untuk menyusul mereka sambil membawa beberapa orang bersamanya. Aku lalu menyuruhnya untuk berhati-hati dan segera kembali bila melihat sesuatu yang aneh. Beberapa puluh menit telah berlalu dan tidak ada kabar sama sekali dari Ash. Aku memerintahkan kepada yang lainnya untuk mengambil senjata mereka dan berjaga-jaga. Nampaknya, aku mulai merasakan kekhawatiran yang dirasakan oleh Ash. Aku terus berdoa agar tidak ada hal buruk yang menimpa mereka. Beberapa saat kemudian, kami mendengar suara dari kejauhan. Jantungku mulai berdegup dengan kencang dan yang lainnya bersiap-siap untuk menyerang. Tiba-tiba, Ash muncul dengan warga desa lainnya. Mereka dalam keadaan terluka parah dan beberapa dari mereka terpaksa dipapah. Ash mengatakan padaku bahwa suara teriakan tersebut merupakan suara dari seseorang yang diserang oleh binatang buas,” cerita kepala desa.
“Binatang buas? Hmm... Kalau dugaanku benar, binatang buas yang menyerang rombonganmu adalah serigala-serigala itu,” ujarku kepada kepala desa.
“Benar, tapi ada hal lain yang lebih buruk. Ash mengatakan bahwa orang yang diserang tersebut merupakan seorang bandit dan sepertinya bandit itu sedang tersesat dan terpisah dari temannya,” ujar kepala desa.
“Hmm... Jadi itu sebabnya mereka memata-matai dan menyerang desa ini. Lalu, apa yang terjadi selanjutnya?” tanyaku.
“Hanya ada beberapa warga desa yang berhasil diselamatkan. Ash memerintahkan kami untuk segera kembali ke desa. Ia mengatakan bahwa tempat ini berbahaya karena binatang buas yang dilihatnya masih berkeliaran dan ia takut kalau teman-teman dari bandit tadi berada di sekitar sini. Kami kemudian bergegas untuk kembali ke desa. Dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki serigala yang sedang berlarian menuju ke arah kami. Suara tersebut semakin lama semakin terdengar jelas. Kami berusaha berlari secepat mungkin, tetapi karena banyak warga desa yang terluka, pergerakan kami menjadi lambat dan hanya dalam hitungan menit, kami akan terkejar oleh binatang-binatang buas itu. Ash lalu mengambil senjatanya dan berbalik arah. Ia mengatakan kalau ia akan menahan pergerakan binatang-binatang buas itu dan memerintahkan kami untuk tidak mengkhawatirkannya. Aku melarangnya dan menyuruhnya untuk tetap berlari bersama kami, tetapi ia tetap bersikeras dan memarahiku. Ia mengatakan bahwa keselamatan warga desa lebih utama dibandingkan dengan dirinya. Lalu... Kami sama sekali tidak mendengar kabar apapun mengenai Ash,” cerita kepala desa.
Kepala desa lalu menghentikan ceritanya. Aku mendengar suara tangisan dari sebelahku. Saat aku menoleh, ternyata yang menangis adalah Karen. Ia tampak begitu sedih dan suasana menjadi semakin muram. Kemudian, salah seorang warga desa melanjutkan cerita kepala desa.
“Sejak itulah desa kami menjadi terisolasi dari dunia luar. Binatang-binatang buas tersebut menyerang siapa saja yang memasuki areal hutan di sekitar desa ini. Karena itu, Sampai saat ini tidak ada satu pun orang yang berkunjung ke desa ini dan kami jadi kehilangan pendapatan dan banyak pemuda-pemuda kami yang terbunuh. Desa kami sepertinya hanya tinggal menunggu kehancurannya saja,” ujarnya sambil bersedih.
Aku lalu terdiam. Setelah mendengar cerita ini, aku jadi mengerti situasi di desa ini dan perasaan aneh yang kurasakan sejak memasuki desa ini.
“Pantas saja Xenoc begitu terkejut saat melihatku. Ia mengatakan bahwa sudah lama tidak ada orang yang berkunjung ke desa ini,” ujarku.
“Ya, kaulah satu-satunya orang yang selamat dan berhasil memasuki desa ini dan setelah melihat kejadian semalam, aku yakin kalau kau cukup kuat untuk membantu kami mengalahkan binatang-binatang buas itu,” ujar kepala desa kepadaku sambil memohon.
Mendengar hal itu, aku hanya bisa terdiam. Aku tertunduk sambil memegang badanku yang masih terasa sakit.
“Tapi ayah, walaupun ia berhasil mengalahkan binatang-binatang buas itu kemarin malam, lukanya masih cukup parah dan bila menghadapinya lagi, dia tidak akan bisa menang dan bisa terbunuh,” ujar Karen kepada kepala desa.
“Aku mengerti, tapi desa ini sangat membutuhkan pertolongannya. Semakin lama, binatang-binatang buas itu semakin agresif dan bahkan kemarin, binatang-binatang itu memasuki desa kita dan melukai banyak orang. Lagipula, yang tersisa di desa ini hanyalah orang tua, wanita dan anak-anak. kita tidak mempunyai cukup kekuatan untuk melawan binatang-binatang buas itu,” jawab kepala desa.
“A... Aku... Aku...,” ucapku dengan ragu-ragu.
Karen memperhatikanku dengan perasaan cemas. Aku kemudian berdiri dan melihat ke arah kepala desa.
“Aku akan membantu kalian membunuh binatang-binatang buas itu,” ujarku dengan lantang.
Kepala desa dan warga desa lainnya tersenyum lega. Mereka tampak senang dengan keputusanku tadi. Tetapi, Karen kelihatan sangat cemas dan ia pun memandang ke arahku.
“Apa kau yakin dengan ini? Lukamu masih parah dan untuk berjalan saja kau sudah kesulitan. Kau sama sekali tidak punya kesempatan untuk menang,” ujarnya kepadaku.
“Sudahlah Karen, aku tidak akan menarik kata-kata yang telah kuucapkan. Lagipula, aku tidak akan mati semudah itu karena aku masih mempunyai urusan yang harus kuselesaikan,” jawabku kepadanya.
Aku lalu meminta kepala desa untuk memberikan senjata dan perlengkapanku. Ia lalu memerintahkan kepada salah seorang warga desa untuk mengambilnya dan langsung memberikannya kepadaku. Kemudian, kepala desa menyuruhku untuk ikut berkumpul di lapangan yang terletak di tengah desa. Aku berjalan bersama dengannya dan warga desa lainnya. Setibanya di lapangan, semua warga desa berkumpul mengelilingiku dan kepala desa.
“Perhatian kepada seluruh warga desa! Aku memerintahkan kepada para pria untuk tetaplah berada di sini karena malam ini, kita akan berjuang untuk membebaskan desa kita dari makhluk-makhluk buas yang telah menyerang kita sejak satu minggu yang lalu. Dan kepada para wanita dan anak-anak, aku memerintahkan kalian untuk tetap berada dirumah masing-masing dan mengunci pintu dan menutup jendela. Makhluk-makhluk buas itu bisa masuk dan menyerang desa kita kapan saja,” perintah kepala desa.
Kami lalu berjalan bersama-sama menuju ke gerbang desa. Kepala desa memerintahkan kami untuk berhati-hati dan tidak bertindak gegabah. Kemudian, kami berjalan perlahan menuju hutan. Jalan yang kami lewat merupakan rute yang biasa dilewati bila berpergian menuju ke luar kota. Aku berjalan di barisan depan sambil menggenggam senjataku dengan erat. Suasana hutan terasa begitu sunyi dan mencekam. Aku sama sekali tidak mendengar suara-suara binatang yang tinggal di hutan.
“Suasananya... Sepertinya ada sesuatu yang terjadi setelah aku melawan serigala-serigala kemarin dan hal itu mempengaruhi hutan ini. Aku hampir tidak mengenali jalan yang kulewati kemarin,” ujarku dengan perasaan khawatir.
“Aku hanya berharap kalau keadaan tidak menjadi lebih buruk lagi. Walaupun jumlah kita banyak, kekuatan kita masih belum cukup untuk menghadapi binatang-binatang buas itu,” ujar Xenoc.
“Kau benar. Sebagian besar dari warga desa yang ikut dengan kita adalah orang tua. Kita tidak bisa terlalu mengandalakn mereka
Aku menoleh ke belakang dan sepertinya warga desa lainnya kelihatan begitu ketakutan. Hal itu terlihat jelas dari raut wajah mereka dan cara mereka berjalan. Kami semua berjalan semakin jauh menuju ke dalam hutan. Suasana semakin mencekam dan beberapa orang mulai mengeluh dan menyarankan untuk kembali. Kepala desa dengan tegas menolak saran tersebut.
“Kalau kita kembali, maka kita tidak akan bisa berbuat apa-apa. Semuanya maju dan jangan sampai ada yang terpisah. Perhatikan sekeliling kalian, kita bisa saja diserang secara tiba-tiba,” perintah kepala desa.
Kami melanjutkan perjalanan dan belum ada satupun serigala yang kami lihat. Tiba-tiba, seekor serigala melompat ke arah kami dan menerkam salah seorang warga desa yang berada di belakang. Kami semua terkejut dan warga desa lainnya berlarian menuju arah yang berbeda-beda. Aku segera menyerang serigala itu dan berhasil melukainya sedikit. Serigala itu kabur sambil membawa salah seorang warga desa menuju ke semak-semak dan akhirnya menghilang.
“Jangan ada yang berpencar! Semuanya bentuk formasi seperti tadi! Kita harus tetap waspada agar tidak jatuh korban lagi!” perintahku kepada yang lain.
Kepala desa memerintahkan kami untuk terus maju. Aku berjalan sambil mengawasi sekelilingku dan beberapa saat kemudian, aku melihat beberapa serigala yang berlarian tak jah dari tempatku berdiri. Aku mendekati tempat tersebut dan menemukan sebuah kereta kuda yang hancur.
“Sepertinya kereta ini baru saja hancur karena diserang oleh serigala-serigala itu. Nampaknya serigala-serigala itu sedang membawa mangsanya untuk disantap,” ujarku.
“Bagaimana kau tahu hal itu? Mungkin serigala-serigala itu hanya mencari makanan dari sisa-sisa kereta ini,” tanya Xenoc.
“Lihatlah dengan lebih jeli. Ada jejak darah tak jauh dari sini dan sepertinya darah tersebut masih baru dan belum mengering,” jawabku kepada Xenoc.
Aku memerintahkan yang lain untuk berjalan mengikuti jejak darah yang ditinggalkan oleh serigala-serigala tadi. Semakin lama, bau darahnya semakin tercium dan sepertinya tidak hanya satu orang yang menjadi korban. Kami terus berjalan sampai akhirnya kepala desa memerintahkan kami untuk berhenti.
“Kita harus mempersiapkan diri terlebih dahulu. Tampaknya di balik semak-semak itu ada banyak serigala yang menanti kita,” perintah kepala desa.
“Tampaknya dulu tempat itu digunakan sebagai persembunyian bandit-bandit yang kemarin menyerang desa. Rupanya mereka telah memilih tempat yang salah untuk bersembunyi,” ujarku.
Kami semua beristirahat sejenak sambil mempersiapkan barang-barang yang kami bawa. Xenoc lalu menghampiriku dan memberikan sebuah botol berwarna hijau.
“Rith, saat menyerang nanti, lemparkanlah botol ini ke tengah kerumunan serigala-serigala tersebut. Botol ini akan mengeluarkan asap yang tebal sehingga serigala-serigala itu tidak akan bisa menyerang kita secara bergerombol. Hal ini akan menguntungkan kita dalam pertarungan,” ujarnya kepadaku.
Ia lalu mengambil satu lagi botol bening yang berisi cairan berwarna merah.
“Minumlah. Cairan ini dapat memperkuat dan menghilangkan rasa sakit di tubuhmu untuk sementara,” perintah Xenoc sambil menyodorkan botol itu kepadaku.
Setelah semua dipersiapkan, kami lalu berjalan mendekati serigala-serigala tersebut. Aku melihat ada sekitar enam serigala di sana. Serigala-serigala itu sedang menyantap korban-korbannya dan salah satunya merupakan warga desa yang diserang tadi.
“Kalian semua tunggu di sini. Aku akan mengawasi sekeliling untuk memastikan bahwa tidak ada binatang buas lain selain serigala-serigala itu,” perintahku kepada warga desa yang lain.
Aku berjalan perlahan mendekati serigala-serigala itu dan mengintip dari balik semak-semak. Aku memperhatikan sekeliling dan tampaknya tidak ada binatang buas
| |
| | | shiningforcefx Corporal
Jumlah posting : 82 Age : 35 Lokasi : Jakarta Barat Registration date : 24.07.08
Written On The Star Star of Destiny: Tenkai Star Race: Human
| Subyek: Re: The Story of Vangardia Sun Sep 21, 2008 10:07 am | |
| lain di sekitar sini. Tiba-tiba, aku menginjak sebuah ranting pohon dan suara patahan ranting tersebut mengejutkan serigala-serigala yang sedang makan itu. Aku menghentikan langkahku dan menunduk agar serigala-serigala itu tidak melihatku. Warga desa lainnya bersiap-siap dengan senjata di tangan mereka untuk menghadapi kemungkinan terburuk apabila kami ketahuan. Serigala-serigala itu melihat ke sekeliling mereka dengan waspada. Aku mengeluarkan botol yang diberikan oleh Xenoc dan menggenggam senjataku dengan erat. Setelah beberapa saat, serigala-serigala itu berhenti mengawasi sekelilingnya dan kembali menyantap mangsanya.
“Syukurlah, situasinya akan menjadi sangat buruk bila serigala-serigala itu mengetahui kehadiran kami,” ujarku sambil bernafas lega.
Aku lalu memberikan aba-aba untuk berpencar dan bersiap-siap menyerang. Tiba-tiba, seorang warga desa tersandung sebuah batu dan terjatuh ke semak-semak. Serigala-serigala itu langsung terkejut dan menatap ke arah warga desa yang terjatuh dengan tajam. Kemudian, serigala-serigala itu langsung menyadari kehadiran kami dan melolong dengan kencang. Salah satu serigala maju dan menyerang warga desa yang terjatuh diikuti dengan serigala lainnya yang menyerang warga desa lainnya. Aku langsung berlari dan melemparkan botol ke arah serigala-serigala itu. Asap muncul dan menyebar dari botol yang kulempar tadi. Serigala-serigala itu tampaknya terkejut dan berhenti sejenak. Warga desa yang masih selamat berlarian untuk menghindari serangan serigala-serigala itu.
“Gawat, Keadaannya menjadi tidak terkendali. Aku harus bertindak cepat,” ujarku.
Serigala-serigala itu kemudian mulai menghiraukan asap yang muncul dan kembali menyerang warga-warga desa. Beberapa warga desa telah diterkam oleh serigala-serigala itu dan ada 3 serigala yang masih mengejar warga desa lainnya. Beberapa warga desa mencoba untuk menyerang dan melukai salah satu serigala itu. Aku berlari menuju ke serigala di sebelah kananku dan menyerangnya. Serigala itu dengan cepat melompat ke sampingku sebelum aku sempat mengenai tubuhnya. Aku berbalik dan dengan cepat serigala itu menyerang lenganku. Untungnya, aku menahan seranganku dengan senjataku sehingga lukaku tidak terlalu parah. Aku mendorong serigala itu dan menghempaskannya ke pohon lalu aku berlari ke arahnya dan menusukkan pedangku ke punggungnya.
“Hah... Hah... Satu sudah beres. Masih ada sisa lima ekor lagi,” ujarku dengan terengah-engah.
Xenoc berlari menjauhi serigala yang mengejarnya. Ia dengan cepat berbelok dan bersembunyi di belakang batang pohon. Ia lalu mengendap-endap menuju ke semak-semak kemudian ia mengeluarkan pisau dan beberapa buah botol dari tasnya. Serigala yang tadi mengejarnya berhenti karena kehilangan jejak Xenoc dan melihat sekelilingnya.
“Terlalu jauh. Aku harus memancingnya agar lebih dekat lagi denganku,” ujar Xenoc.
Ia lalu melemparkan botol berwarna kuning ke pohon di seberangnya. Botol tersebut pecah dan mendadak, serigala itu berjalan mendekati pohon yang dilempari botol tadi. Sepertinya serigala itu tertarik dengan aroma yang dikeluarkan oleh botol tadi. Xenoc menunggu sampai serigala itu semakin dekat, lalu ia melemparkan botol berwarna merah ke arah serigala itu kemudian terjadi ledakan yang membuat serigala itu terhempas dan tewas.
Kepala desa memerintahkan beberapa orang untuk berkumpul agar bisa menyerang serigala-serigala yang tersisa beramai-ramai. Beberapa warga desa telah berhasil membunuh dua ekor serigala dan melukai satu ekor serigala. Tiba-tiba, seekor serigala berlari menuju ke arah kepala desa. Aku langsung mencabut senjataku dari tubuh serigala yang tadi kuserang dan berlari ke arah kepala desa. Aku melemparkan pedangku dan lemparanku tadi mengenai tubuh serigala itu dan membuatnya terjatuh.
“Kepala desa, cepat menjauh dari sini! Biar aku yang mengurus serigala ini!” perintahku kepadanya.
Ia lalu berlari menjauhiku. Aku mengambil pedang dari warga desa yang telah mati dan mengenggamnya dengan kedua tanganku. Serigala tadi bangun dan menatapku dengan tajam. Serigala itu lalu menyerangku dari arah depan. Aku melompat ke kiri dan berhasil menghindari serangannya. Aku lalu berbalik dan balas menyerang serigala itu. Tiba-tiba, seekor serigala lain melompat dari sampingku. Aku terjatuh dan perutku terluka. Aku mencoba untuk berdiri dan dihadapanku ada dua ekor serigala. Pedangku terjatuh di samping serigala tersebut.
“Sial... Aku sulit untuk melawan serigala ini tanpa senjata. Aku tidak mungkin menang dengan tangan kosong dan tubuh yang terluka,” ujarku.
Dua ekor serigala itu berlari dan melompat kearahku. Tiba-tiba, sebuah botol terlempar dan terjadi ledakan. Aku terjatuh akibat ledakan itu kemudian seseorang menghampiriku.
“Tampaknya kau sedang kesulitan nak. Perlu bantuanku?” ujar Xenoc kepadaku.
Aku lalu tersenyum dan Xenoc lalu membantuku untuk berdiri. Tinggal satu serigala yang tersisa. Xenoc memberikan senjata kepadaku dan memberikan aba-aba untuk menyerang. Dengan cepat, aku dan Xenoc menyerang secara bersama-sama dan berhasil membunuh serigala itu.
“Sepertinya kita telah berhasil membunuh semua serigala-serigala yang ada. Aku tidak mengira kalau akan sesulit ini,” ujarku.
“Ya, banyak korban yang berjatuhan dan lebih banyak lagi yang terluka,” ujar Xenoc.
Aku melihat ke arah warga desa yang selamat dan kebanyakan dari mereka terluka. Beberapa dari mereka terluka parah dan terkapar di tanah. Kepala desa memerintahkan kami untuk kembali dan membawa warga desa yang terluka untuk diobati.
“Utamakan yang terluka parah. Kita harus segera menuju ke desa untuk mengobati mereka,” perintah kepala desa.
Kami lalu kembali menuju desa sambil membawa yang terluka bersama kami. Serigala-serigala itu telah berhasil kami bunuh, tapi aku masih merasa ada yang janggal.
“Rith, dari tadi kuperhatikan kalau kau selalu membawa benda itu di punggungmu. Bahkan dalam pertarungan tadi, kau tetap membawa benda itu. bukankah akan lebih baik bila kau menitipkannya dahulu sebelum kita berangkat ke hutan? Lagipula, pertarungan tadi menjadi lebih sulit karena kau terus membawa benda itu sambil bertarung,” tanya Xenoc kepadaku.
“Aku tidak akan pernah meninggalkan ataupun menitipkan benda ini. Ada hal yang harus kulakukan dengan benda ini,” jawabku kepadanya.
Beberapa saat kemudian, aku menghentikan langkahku dan menoleh ke belakang. Aku terdiam selama beberapa saat dan kembali berjalan.
“Ada apa Rith? Sepertinya ada sesuatu yang mengganggumu,” tanya Xenoc kepadaku.
“Ah, tidak. Tidak ada apa-apa,” jawabku kepadanya.
Xenoc sedikit heran melihat sikapku itu. Setelah berjalan cukup jauh, kami akhirnya tiba di desa. Para wanita dan anak-anak mengerumuni kami. Mereka tampaknya bahagia melihat kepulangan kami. Beberapa dari mereka terlihat sedih karena kehilangan anggota keluarganya. Kepala desa memerintahkan kami semua untuk pulang dan beristirahat.
“Rith, kau terlihat begitu lelah. Kau bisa tinggal selama beberapa hari di rumahku untuk memulihkan tubuhmu,” ujar Xenoc kepadaku.
“Terima kasih, tapi aku tidak punya waktu sebanyak itu untuk bersantai-santai. Aku harus pergi ke suatu tempat dan sepertinya aku hanya akan tinggal selama semalam saja,” balasku kepadanya.
“Tapi, saat ini tubuhmu sedang terluka parah. Apalagi saat kau memaksakan diri untuk bertarung dengan keadaan terluka seperti tadi. Kalau kau memaksakan diri lebih dari ini, maka tubuhmu akan cacat secara permanen,” ujar Xenoc kepadaku.
Aku menunduk dan memalingkan tubuhku darinya. Sepertinya beberapa lukaku sebelumnya kembali terbuka akibat pertarungan tadi. Aku menyentuh perutku dan mengangkat tanganku yang berlumuran darah. Tubuhku mulai merasakan sakit dan tampaknya pengaruh cairan yang tadi diberikan oleh Xenoc telah hilang. Warga desa lainnya kemudian berpencar dan berjalan menuju ke rumahnya masing-masing. Aku hanya berdiri dengan pikiran yang kosong sambil menatap tanganku. Xenoc menghampiriku dan menyentuh pundakku lalu tiba-tiba, terdengar suara lolongan serigala yang sangat keras dari dalam hutan.
“Su... Suara itu... Ternyata, dugaanku tadi benar,” ujarku.
Warga desa lainnya ikut terkejut dan menghentikan langkahnya. Beberapa saat kemudian, terdengar suara lolongan yang sama kerasnya dan suara langkah kaki yang semakin mendekat. Warga desa lainnya berlarian menuju ke rumahnya masing-masing dan bersembunyi. Kepala desa memerintahkan kepada warga desa yang masih sehat untuk kembali berkumpul dan bersiap-siap untuk menghadapi makhluk buas ini.
“Rith, kau mundur saja dan bersembunyi. Tubuhmu sudah terlalu lemah untuk bertarung lagi,” perintah Xenoc kepadaku.
“Aku tidak akan menyerah hanya karena hal seperti ini. Lagipula, dari suara lolongan dan langkah kakinya, sepertinya makhluk ini lebih besar dan buas,” jawabku.
“Lebih besar dan buas? Apa maksudmu makhluk ini sama dengan serigala besar yang kau lawan kemarin malam?” tanya Xenoc kepadaku.
“Tidak, aku merasa kalau makhluk ini bukan seperti makhluk yang kulawan kemarin malam. Makhluk ini sepertinya berbeda dan aku punya perasaan yang buruk tentang ini,” jawabku.
Aku mengeluarkan pedangku dan menggenggamnya dengan kedua tanganku sementara Xenoc mengeluarkan senjata dan botol-botolnya. Suara langkah kaki itu semakin mendekat dan semuanya bersiap-siap untuk melawan. Tiba-tiba, seekor makhluk busa melompat kemudian makhluk itu melolong dengan keras. Makhluk itu menyerupai serigala tetapi tubuhnya berbentuk seperti manusia dan mempunyai ukuran yang lebih besar dari manusia biasa. Seluruh tubuhnya ditutupi oleh bulu dan kepalanya menyerupai kepala serigala. Makhluk ini berdiri dengan dua kakinya dan berjalan mendekati kami dengan tatapan yang tajam.
“Sudah kuduga, serigala-serigala itu tidak bergerak dengan sendirinya. Ternyata makhluk itulah yang mempengaruhi serigala-serigala tadi,” ujarku.
Salah seorang warga desa maju dan menyerang makhluk itu dari samping tetapi makhluk itu membalas dengan cakarnya. Serangan makhluk itu melukai sekaligus menghempaskan warga desa tadi dan membuatnya terkapar. Xenoc lalu melemparkan botol berwarna merah ke arah makhluk itu kemudian terjadi ledakan. Makhluk itu melompat dan berhasil menghindari ledakan tadi. Warga desa lainnya melempari makhluk tersebut dengan pisau dan batu. Makhluk itu menutupi tubuhnya dengan kedua tangannya untuk menahan serangan tadi. Ia lalu mendarat di tanah dan berlari menuju warga desa lainnya. Serangannya begitu cepat dan dalam waktu singkat, banyak warga desa yang terluka parah dan terkapar akibat serangan dari makhluk itu. Semakin lama, lukaku terasa semakin sakit dan tubuhku menjadi semakin lemah. Tubuhku semakin sakit kemudian, makhluk itu melihat ke arahku dan menyerang. Xenoc menangkis serangan makhluk itu tetapi lengannya terluka dan ia terhempas ke tanah.
“Ugh, kuat sekali makhluk itu. Aku tidak sanggup untuk menahan serangannya,” ujar Xenoc sambil memegang tangan kanannya yang terluka.
Makhluk itu kembali menyerangku tetapi aku berhasil menghindar walaupun dadaku sedikit terluka oleh serangannya. Aku terus menghindar dan menangkis serangan makhluk itu dan luka di tubuhku semakin banyak dan semakin parah. Aku menjauh dari makhluk itu dan lama kelamaan tubuhku mulai sulit untuk digerakkan dan pandangan mataku sudah mulai kabur. Aku melihat makhluk itu menghampiriku dan bersiap untuk menyerangku.
“Ukh... Sial... Sial... Tubuhku sudah mulai tidak sanggup lagi. Aku hanya punya sedikit tenaga untuk bergerak lagi. Ini memang gegabah, tapi saat ini aku sedang sangat terdesak,” ujarku.
Makhluk itu semakin mendekatiku. Aku lalu menutup kedua mataku dan membaca mantera.
“B... Berserk... Rage...,” ujarku dengan tertatih-tatih.
Tiba-tiba, muncul kobaran api yang berputar disekelilingku. Dari tubuhku, keluar aura yang sangat kuat. Aura yang keluar dari tubuhku itu berubah menjadi merah membara. Mataku menjadi berwarna merah dan dengan seketika, aku menangkis serangan makhluk itu dan melukai dadanya dengan pedangku. Makhluk itu kemudian melompat da menyerangku dari atas. Aku melompat ke belakang dan menghindari serangannya. Aku mencoba untuk menusuknya tetapi berhasil ditangkis oleh makhluk itu. kemudian, aku menendang perut makhluk itu dan melemparkan senjataku kearahnya. Makhluk itu terjatuh dan lemparan senjataku berhasil melukai tangannya. Makhluk itu kembali melolong dan berlari kearahku kemudian ia menyerangku. Serangannya melukai tangan kaki kiriku kemudian aku menghempaskan makhluk itu ke atas. Aku lalu membaca mantera kemudian kobaran api di sekelilingku mulai terpusat pada kedua tanganku. Aku mengarahkan tanganku pada makhluk itu dan menembakkan api dari tanganku. Makhluk itu menutupi tubuhnya dengan kedua tangannya. Beberapa saat kemudian, terjadi ledakan yang dashyat. Makhluk itu terluka parah tetapi ia masih bisa berlari ke arahku. Aku mengambil pedangku dan berlari ke arahnya kemudian, kami | |
| | | shiningforcefx Corporal
Jumlah posting : 82 Age : 35 Lokasi : Jakarta Barat Registration date : 24.07.08
Written On The Star Star of Destiny: Tenkai Star Race: Human
| Subyek: Re: The Story of Vangardia Sun Sep 21, 2008 10:08 am | |
| berdua saling menyerang dan berhenti. Makhluk itu lalu terjatuh ke tanah dan mendadak, aku merasakan sakit yang luar biasa dari dadaku. Aku berteriak dengan kencang sambil memegang dadaku dan terjatuh ke tanah. Xenoc terus berteriak memanggilku dan lama kelamaan suara teriakannya mulai hilang dan mataku terpejam. | |
| | | Sponsored content
| Subyek: Re: The Story of Vangardia | |
| |
| | | | The Story of Vangardia | |
|
Similar topics | |
|
| Permissions in this forum: | Anda tidak dapat menjawab topik
| |
| |
| |